Seribu jam berpaduan suara di Skotlandia

Lema kali ini aku pengen cerita lika-liku drama cinta segitiga di Skotlandia. (Click bait banget gak seh gw, wkwkwk). Tiga tahun hidup bersama musik, buku, dan labu Erlenmeyer.

Tahun 2016 aku memulai bab baru, dengan keberhasilan mendapat beasiswa pascasarjana, setelah melamar di belasan universitas di Eropa. Terhitung, dulu sempat wawancara dengan beberapa perguruan tinggi di Dublin, Oxford, Groningen, London, dan mendapat hasil positif di Leeds dan Bath. Tapi akhirnya aku memilih Edinburgh, karena bidang penelitiannya menurutku waktu itu adalah perpaduan sempurna antara kimia dan pendidikan.

Begitu aku mendapat kabar di bulan Februari kalau aku akan memulai studi bulan September, aku segera mencari informasi tentang paduan suara di Edinburgh yang bisa aku lamar audisi. Seperti bisa kalian baca di lema-lema terdahulu, ini biasa aku lakukan setiap kali hendak pindah ke dan tinggal lama di negara baru. Seperti kebanyakan ibu kota di Eropa, ada banyak pilihan. Aku tentunya sangat selektif. Prinsipku dalam memilih paduan suara adalah, meskipun amatir (artinya tidak dibayar), kualitas musik yang mereka produksi harus tinggi. Males juga kan kalo mesti nyanyi bareng paduan suara yang lemot. “Ain’t nobody got time for that!

Choral Scholar

Eniwei, dalam pencarian jati diri itu (hallah!), aku menemukan lowongan bertitel “Choral Scholar” pada salah satu katedral terbesar di Skotlandia, yang kebetulan berada di kota ini. Istilah choral scholar(ship) umum di Britania Raya dan Irlandia. Intinya adalah semacam beasiswa untuk bernyanyi dalam paduan suara, biasanya berafiliasi dengan katedral. Misalnya pada Katedral Wells dan Ely. Ada juga yang berafiliasi dengan universitas, semacam The Choral Scholars of University College Dublin. Atau dengan kapel universitas. Misalnya, Universitas Cambridge sudah lama merekrut mahasiswa mereka untuk bernyanyi dalam banyak paduan suara kapel kolese mereka. Oxford juga sama. Nah, aku waktu itu audisi untuk bernyanyi di Katedral St Mary. Aku sadar banget waktu itu kalau berhasil audisi, aku akan harus meluangkan banyak waktu, karena mereka termasuk katedral yang sangat prolifik kalau sudah urusan musik. Setiap hari kecuali Sabtu kita harus nyanyi. Dibayar sih, tapi tiap hari bow! Hari Minggu bahkan dua kali dalam sehari, Ekaristi pagi, Evensong sore. Buat yang ngga tau, Evensong ini tradisi liturgi Anglikan banget. Intinya adalah pelayanan di penghujung hari dengan nyanyian Mazmur, canticles (terdiri atas Magnificat dan Nunc dimittis), dan anthem. Ekaristi juga kurang lebih sama, tapi canticles diganti misa (tanpa kredo), hymne, dan satu motet. Audisinya pun syusye, pemirsah. Ini karena mereka memang mengharuskan prima vista paripurna. Ajaibnya, aku lulus juga!

Dan seperti itulah, di antara kesibukan meneliti, terjun ngelab buat ngajar dan ngumpulin data, aku nyanyi setiap hari. Dan kebayang dong, dengan frekuensi bermusik setinggi itu, kita cuma bisa latihan seadanya, setiap hari Selasa malam, dan hanya untuk bagian-bagian tersulit. Gempor juga wkwkwkw, secara gw kan paling banter juga latihan tuh ya buat konser yang paling berapa kali sih dalam setahun. Ini, basically tiap hari konser bow, dengan program yang terus berubah.

Selama menjadi choral scholar, sudah tak terhitung lagi berapa komposisi baru yang aku nyanyikan. Dari siklus lengkap Requiem-nya Durufle, Brahms, dan Faure, sampai musik terbaru komponis hidup macam James MacMillan dan Gabriel Jackson. Beberapa komposer modern menciptakan musik khusus buat St Mary, termasuk Kenneth Leighton dan Cecilia McDowell. Tapi pastinya ada juga kadang beberapa sudah pernah aku garap. Misalnya, Magnificat-nya Giles Swayne yang rancak dan agak eksotis itu. Dan tentunya Misa untuk paduan suara ganda-nya Frank Martin.

Tapi pengalaman bernyanyi bersama St Mary sampai saat ini belum ada duanya. Berasa banget aku berkembang pesat secara vokal dan musikalitas, mungkin ya karena intensitas dan frekuensi tinggi. Tapi juga karena tuntutan profesional, jadi istilahnya kalau ada salah nyanyi, gaji dipotong, wkwkwkw. (Ngga sampe segitunya sih, tapi berasa aja tanggung jawabnya). Gimana ngga maju pesat, anak-anak chorister-nya (yang nyanyi treble/sopran di barisan depan) sekolah musik di situ semua. Jadi St Mary ini punya sekolah musik sendiri, yang berbeda dengan kebanyakan sekolah musik kek di Indonesia, mereka menawarkan kurikulum penuh. Jadi, seperti sekolah biasa (SD sampai SMA), tapi banyak banget pelajaran musiknya, termasuk maen instrumen.

Selain kewajiban bernyanyi setiap hari, kita juga terlibat dalam rekaman CD profesional. St Mary sudah memproduksi banyak album rekaman, membawakan komposisi tematik, dari Taverner sampai Stravinsky. Diskografi mereka bisa didengarkan di Spotify. Aku terlibat dalam satu saja album rekaman mereka, yaitu komponis Inggris dari zaman Tudor, William Mundy.

Dari tahun 60an, St Mary juga rutin menjadi bagian dari BBC live recording, seperti yang berikut. Pun aku sempat terlibat dalam salah satunya. Banyak banget deh kesempatan tampilnya, termasuk program tukar kunjungan ke dan dari katedral lain di Skotlandia. Juga menjadi bagian gelaran internasional Edinburgh Fringe Festival yang terkenal itu. Dan seolah itu tidak cukup, selain komitmen harian bernyanyi di sini, aku juga nyanyi di tempat lain.

Paduan Suara Mahasiswa

Rasanya memang kurang lengkap yak kalo kuliah di Eropa tapi ngga gabung PSMnya. Aku sadar sih, komitmen di St Mary aja sudah sangat menyita waktu. Tapi demi melihat kualitas Edinburgh University Chamber Choir (EUCC), aku pun tergoda, wkwkwk. Aku inget waktu itu mesti ngebut bareng Graham, tenor, choral scholar lain yang sedang ambil master dalam bidang neurosains, jalan balik dari katedral setelah Evensong biar bisa ikut latihan EUCC. Selalu telat pastinya wkwkwk. Tapi dengan PSM ini, aku menjelajahi repertoar yang berbeda dengan St Mary. Pastinya ngga melulu musik sakral. Di bawah direksi Robert Brooks waktu itu, aku menggarap lagi Songs of Ariel-nya Frank Martin, yang pernah aku bawakan dengan Hollands Vocaal Ensemble tahun 2012 dulu. Lalu kita juga bawain Four Songs of Shakespeare-nya komponis Finlandia, Jaakko Mäntyjärvi.

Setelah dua kali konser lokal, kita tur musim panas ke Côte d’Azur. Seperti PSM pada umumnya, EUCC juga diwajibkan bernyanyi pada acara resmi universitas, seperti Academic Service di katedral lain di kota, St Giles yang indah itu. Dinamika bernyanyi dan berorganisasi di PSM seperti ini (dan juga sebelumnya di Indonesia dan Belanda), memang beda dari paduan suara lain. Selain jiwa mudanya sangat terasa dalam banyak acara sosial, termasuk ketika kita duduk melingkar di pantai di Nice, main games “never have I ever” setelah kita konser dan bersosialisasi dengan koor lokal, di PSM kita juga lebih bebas berekspresi. Tapi memang sih, kalau sudah urusan rasa kekeluargaan, ngga ada yang ngalahin Agria, hahahaha.

Menjelang akhir 2017, aku terpaksa harus berhenti. Komitmen akademik, profesional, dan pribadi di kedua belah kepulauan dan kontinental, dengan komplikasi krisis kesehatan mental berkepanjangan memaksaku kembali ke bangku terapi. Aku harus fokus pada kesehatan dan tentunya studi. Selama tahun 2018, aku sama sekali tidak bermusik. Dengan bantuan pembimbingku, sistem pendukung di Universitas Edinburgh (konseling dan layanan disabilitas) yang bagus, dan dukungan partnerku waktu itu, aku berhasil melalui salah satu masa terberat yang, meskipun tidak banyak orang tahu, membuatku hampir putus harapan. Ketika tahun 2019 aku menemukan diriku kembali, aku bisa berkarya lagi. Dan menjelang musim panas waktu itu, aku kembali ke Oxford. Tapi itu lema buat lain kali.

Aku ingin menutup lema ini dengan pesan. Jaga diri baik-baik yah, semuanya. Ingat, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Tidak ada yang memalukan dalam mencari bantuan ketika kalian berada jauh di dasar jurang depresi dan kegelapan. Dengan segala tantangan hidup di abad modern sekarang, banyak orang yang sebenarnya harus terapi. Aku sadar banget kalau di banyak belahan dunia, sistem kesehatan tidak menganggap ini penting. Atau sistem kesehatan segitu bobroknya sampai kita harus menjual ginjal hanya untuk pergi ke dokter! Tapi jika memungkinkan, pergi terapi.

Nah lho, lema tentang musik berakhir dengan kesehatan mental, hahaha. Sampai ketemu lagi lain kali…

Prahara Kemenangan di Praha

Seperti badai, taufan, prahara, euforia kemenangan yang terasa di Maiakovsky Hall, Gedung Nasional di Vinohrady, Praha. Aku yang ngga ikutan nyanyi, cuma tim penggembira pun jadi ikutan jingkrak-jingkrak, loncat-loncat, teriak-teriak di register sopran sampe kek orang gila wkwkwkwk. Ya maaf ya, pemirsa. Begitulah kerja dopamin kalo kita lagi bahagia banget. Aku bahagia buat mereka, buat kerja keras, pengabdian, apresiasi seni dan musik, dan mungkin juga pengorbanan pribadi, buat tercapainya tujuan mereka jauh-jauh datang dari Bogor ke Praha.

AgriaSwara, paduan suara mahasiswanya IPB, berkunjung ke Eropa tahun ini, setelah terakhir mereka ke Swiss tahun 2018, lalu tahun 2020 mereka ke… onlen 😦 Dunia festival paduan suara mulai menggeliat lagi bangkit dari kubur selama wabah kopit. Praga Cantat pun begitu. Tahun ini edisi ke-34, dan beberapa koor ikut ambil bagian. Kali ini bahkan ada dua peserta dari Indonesia selain kita (kita?). Ada Jakarta Youth Choir, nama yang baru kali ini aku dengar, tapi ya harap maklum, aku sudah ngga wara-wiri lagi di Jekardah yekhaan.

Eniwei, aku baru lihat kalau Agria mo ke Praha mungkin beberapa minggu yang lalu. Terus, kebetulan hari Kamis dan Jumatku ngga ada kelas, ngga ada rapat, meskipun kerjaan mah pastinya selalu ada. Tapi aku pikir, ya udah deh. Kerjaan aku bawa ke Praha lucu kali yaaah. Dan seperti itu lah, pemirsa. Aku pun memutuskan untuk nyambangin adek-adek Agria dan tentunya Kang Arvin sang pengaba. Terakhir kita ketemu kapan ya? Mungkin tahun 2015 waktu Agria kompetisi di Belgia dan tur ke Belanda. Delapan tahun yang lalu! Makanya, dengan senang hati, aku pun beranjangsana ke Praha, sekalian pengen reuni, silaturahmi, dan juga mengalami kembali keajaiban kota seratus menara ini. Tiga belas tahun lalu, aku kuliah di sini, bahkan sempat mencoba belajar bahasa Ceko (dan tidak berhasil, tentunya, wkwkwkw).

Aku seneng banget pas ketemu Kang Arvin pada hari kompetisi pertama. Tukar cerita, update kondisi Agria sekarang. Ketika aku dengar mereka latihan, AgriaSwara kupikir tambah matang secara vokal. Timbrenya semakin Eropa, tanpa kehilangan identitas vokal Asia. Aku bisa bilang gitu setelah aku sendiri sudah bernyanyi dengan abang-abang dan noni-noni bule dari Benua Biru ini, 14 tahun terakhir. Basnya sangat beresonansi, dan tenornya juga terdengar klasik. Ini paling kentara di nada-nada tertinggi. Altonya solid, pada beberapa lagu sekilas terdengar seperti tenor. Dugaanku itu tuntutan interpretasi. Soprannya juga juara. Bahkan dengan tantangan cuaca musim dingin, dengan suhu konsisten di bawah 10 derajat Celsius, sonoritas mereka masih terjaga.

Tapi semuanya ya harus diujikan dalam lomba. Agria ikut dua kategori, mixed choir dan folklore, dan keduanya ditampilkan pada hari pertama. Kita mulai dengan kategori mixed choir, dengan motetnya Heinrich Schütz Die Himmel erzählen die Ehre Gottes. Aku pernah bawain ini dulu sama Hollands Vocaal Ensemble, dan bagian-bagian paling penting di lagu ini, terutama tenornya, aku pikir sangat indah dibawakan. Interpretasi Arvin untuk karya Barok awal ini tentunya juga memang seharusnya, layak zaman, layak teknik. Frasering teks Jerman lagu ini juga okeh banget. If anything, double l dalam kata seperti “alle Lande” boleh lebih tebel. Referensiku untuk double l dalam bahasa Jerman yang bener biasanya Kammerchor Stuttgart, bawain kantata-kantata Bach. Lovely opening track for this category!

Komposisi berikutnya adalah Daemon irrepit callidus, karya Gyorgy Orbán, yang singkat, padat, dan penuh setan menyesatkan wkwkwkw. Aku ingat bawain ini tahun 2012 dulu dengan Paduan Suara Mahasiswa Negeri Kumpeni, NSK. Kalau dibawakan dengan benar, komposisi ini bisa efektif memamerkan kemampuan intonasi kromatik dan stamina diafragma berkat banyaknya sforzando dan staccato, selang-seling legato crescendo yang rancak. Sisi lain dari bilah pisaunya adalah, kalau tidak teliti, progresi kromatiknya sangat berisiko jadi sloppy dan berantakan. Aku pikir Agria cukup teliti, dan sepertinya juri pun berpikir begitu.

Komposisi ketiga adalah lagu wajib untuk kategori ini, Napadly písně dari Antonín Dvořák, komponis Ceko paling terkenal dan dicintai. Cantiiiiiiik. Dan interpretasi Arvin untuk bagian-bagian teks “per-la-mi” dan “zro-di-la” memang seharusnya, yaitu dalam konteks satu kata, satu frase, jadi ngga boleh kedengar staccato apalagi disjointed. Piano pula.

Berikutnya, komposisi dari negeri sendiri: Malin, karya Bagus Utomo. Bagus ini aku tahu dari komposisinya yang lain, Gayatri, yang juga dibawakan Agria kali ini. Tidak seperti Gayatri, belum banyak yang membawakan Malin. Dan aku pikir, Praga Cantat ini menjadi ajang European premiere buat komposisi yang sangat powerful ini. Aku tentunya tahu persis konteks budaya dan mitologi Malin Kundang yang menjadi jiwa musik ini. Tapi Bagus aku pikir sangat inovatif dalam meramu teks dan bunyi. Perkusi sederhana menjadi seperti autoritas ritme di beberapa bagian. Tapi yang paling menarik adalah permainan melodi yang kadang sangat terdengar horor, dengan jeritan-jeritan kuntilanak (for the lack of a better word). Lalu ada bagian penuh kesedihan, yang dinarasikan dengan penuh jiwa oleh solis Vinisha. Malin akan berhasil dengan apa yang komponis mau, bahkan tanpa efek visual dan teatrikal. Dalam kasus Agria, efek tersebut tentunya menambah lapisan penuh arti, membuat kemasan musik secara keseluruhan menjadi lengkap, autentik, inovatif, dan menyihir.

Itu lapdangmatku buat kategori mixed choir, pemirsah.

And guess what, Agria menang kategori ini, dengan predikat emas.

YAAAAAAAAYYYYYYY!!!!!

Di kategori folklore, Agria membawakan tiga komposisi juga. Sarinande, dari Maluku; Lisoi, dari Sumatera Utara; dan Gayatri, dari Bali. Penampilan Agria untuk ketiga karya anak bangsa ini juga bagus banget! Dan aku pikir pilihan repertoar Agria sesuai dengan apa yang panitia minta, i.e. diverse in styles. Sarinande yang lebih mengutamakan keindahan legato dan penceritaan lanskap azur pastoral Ambon manise, kontras dengan Lisoi yang hedonis, giacoso, dan penuh dengan pesan joie de vivre. Lalu tentunya ditutup dengan Gayatri yang mistis, sakral, dan sejatinya adalah doa. Untuk ketiga komposisi ini, penghargaanku setinggi-tingginya untuk Arvin, karena Agria menakar segi teatrikal, agar tidak mengorbankan vokal. Terlalu banyak kasus dalam kategori ini yang isinya lebih ke teater dan seni tari daripada paduan suara. I mean, it’s nice to have a show and dance and whatnot, but we’re here for the music.

Eniwei, Agria masuk Grand Prix dong ah. Yuk yak yuk.

To be continued…

OK, lanjyut. Jadi besoknya beberapa peserta boleh tampil sekali lagi, untuk menampilkan musik selama maksimal 10 menit, sebaiknya kontras, seperti persyaratan babak penyisihan, dan tentunya menjadi tour de force kemampuan vokal, presisi, interpretasi, dan kualitas secara keseluruhan. Aku sempet menyaksikan penampilan salah satu grand finalist sebelum kita, yaitu Cansona Neosoliensis, female chamber choir dari Slovakia. Mereka membawakan dua komposisi modern yang menurutku sangat imajinatif. Sayang kita ngga dapet program dalam babak ini. MC, yang ngingetin aku sama Anthony dari Candy Candy wkwkwkw (maklum anak 90an), tentunya menyebutkan judul dan komponis, tapi sayangnya tidak ada yang diprint. Ini saran buat panitia kompetisi, babak grand prix tuh justru seringnya menampilkan kejutan, jadi detail komposisi sebaiknya diprint, bahkan kalau pun hanya di atas secarik kertas. Bagikan ke audiens sebelum mulai. Ingat, pendidikan musik untuk publik. Itu penting!

Nah, selain program yang imajinatif, vokal yang cukup solid, aku cukup terpana juga oleh mbak-mbak bergaun hitam bermakeup goth ber-vibe abad pertengahan Kastil Drakula ini (hallah, apasseh wkwkwkwk). Aku sempet ngejagoin mereka juga. Strong contender nih, pikirku. Tapi setelah satu peserta lain tampil (yang sayangnya aku ngga inget, mungkin Riga Chamber Choir), barulah giliran Agria. Arvin menggelar dua komposisi, dibuka dengan komposisi dari Josu Elberdin, Segalariak, yang sudah cukup populer berkat kompetisi Tolosa. Lalu Malin dapet reprise, and I couldn’t be happier! Aku pribadi sangat menikmati program yang ditampilkan Agria di babak ini.

Hasilnya sudah pada tahu sekarang. Agria menjadi juara umum pada kompetisi ini, dengan dua medali emas untuk kedua kategori, dan yang mengejutkan adalah mereka memberi dua penghargaan khusus untuk outstanding performance komposisi Malin dan penampilan solo dalam lagu tersebut oleh Vinisha. Aku baru kali ini mendengar ada penghargaan khusus untuk penampil solo dalam konteks paduan suara. Such is the power of music! All prizes, well deserved. Sekali lagi, selamat untuk pencapaian tertinggi kali ini. Semoga bisa menjadi katalis (kimia banget yak gw wkwkwk) untuk peningkatan kualitas terus menerus ke depannya. Aku sangat tersentuh karena bahkan dengan hasil seperti ini pun, Agria tetap kritis pada musikalitas dan level artistik mereka saat ini. Sungguh karakter musisi dan seniman sejati! Tapi, aku berharap, Agria bisa menepuk bahu satu sama lain, “You’ve done a marvellous job! Bravo! Bravissimo!” Semoga kemenangan ini dirayakan dengan semestinya, karena ini harus dirayakan. Untuk institusi yang merumahi Agria, semoga struktur akademik memungkinkan para pelaku seni macam mereka ini untuk tumbuh dan berkembang tanpa ada tekanan harus lulus terlalu cepat. Masalah terbesar dalam paduan suara mahasiswa adalah regenerasi yang terlalu cepat, karena para anggotanya hanya aktif dua tiga tahun saja. Kematangan bermusik butuh lebih dari itu. Dan aku berharap semoga semua universitas paling tidak memberikan kelegaan akademik. Kalau di Edinburgh dulu kita menyebutnya accommodation, yang berlaku untuk banyak konteks dan situasi. Sayang kalau bibit-bibit berkualitas ini harus berhenti berkembang. Tentunya, aku juga berharap yang sudah lulus pun masih bertahan, paling tidak beberapa tahun. Tentunya prioritas dalam hidup akan berubah, tapi semoga dalam kondisi apa pun, masih ada waktu untuk Agria.

Laporan Pandangan Mata ;)

Oh hello, blog yang terlupakan…

Yaowli maavkan abang. Tujuh tahun sudah dek Cemara abang tinggalkan… eeeaaa. Cemara? Pu’uuuuun kali ah wkwkwk.

Eniwei. Hai gaez. Kembali lagi bersama Maissy Pramaisshela. Terakhir ngeblog taon 2015, akhirnya nemu momen lagi buat nulis di sini. Pastinja banyak yang terjadi sejak post terakhir. Suka duka roda-roda kehidupan wkwkwkw. Post ini berpusat pada laporan pandangan mata alias lapdangmat konser yang sempet gw tongton. For a bit of context, jamannya Yahoogroups masih menggelora awal 2000an dulu (I know, kalian belom lahir waktu itu 🙄), gw rajin bikin lapdangmat tiap kali nonton konser (atau nyanyi di konser) paduan swarah. Melanjutkan tradisi yang mulai pudar, terimalah persembahankyu wkwkwkwk.

Dua malam berturut-turut ini, gw menghadiri dua konser. Pertama adalah konsernya Paduan Suara Anak-Anak Chowok Kopeunheygeun, yang setelah dibelenggu lockdown (yaelah bahasa gw!), akhirnya mereka lepas bebas ngamen ke luar negeri. Sebagai fans berat boys choir, gw langsung pesen tiket begitu tau mereka mo konser, meskipun venue-nya agak jauh dari kantor (sekitar sejam bermetro-biskota). Tak ajak kolega yang belom pernah nongton konser padsu, biar seru yekhaaan.

Københavns Drengekor, aka Copenhagen Royal Chapel Choir ini adalah padsu anak-anak yang terasosiasi dengan salah satu sekolah musik di sini. Secara resmi Pangeran Mahkota Denmark menjadi patron mereka, jadi bisa dibayangkan lah ya, status mereka dalam blantika musik Ngadenmarkia sini wkwkwkwk. Bedanya dengan tipikal boys choir kek yang dari Wina atau Murica ituh, mereka diperkuat oleh para penyanyi dewasa, yang tentunya nyanyi tenor dan bas.

Kemaren malem mereka bawain program yang berpusat di komposisinya Benjamin Britten “Rejoice in the Lamb”, terus konsernya dikasi judul “Rejoice!”. Kreatip banget, boys. Sip! 😉 Tentunya sebagai veteran paduan suara, gw pernah lah ya garap komposisi Britten yang dinamis ini. Kalo ngga salah taon 2017 dulu, sama The Reid Consort di Edinbrot. In fact, begitu gw liat programnya, gw langsung kenal beberapa repertoar mereka, termasuk Sicut cervus (Palestrina), Verleih uns Frieden (Mendelssohn), Cantique de Jean Racine (Fauré), bahkan Danmark nu blunder den lyse nat (Ring). Yah begitulah kalo udah wara-wiri di mari. Kecuali programnya musik terbaru semua, pasti ada yang pernah dinyanyiin sama koor apa di negara mana gitu.

Nah, kemaren malem lumayan revelation juga sih buat gw. Karena sebagai choir nerd, gw udah dengerin banyak banget rekaman padsu anak-anak, jadinya gw bisa bandingin. Bahkan bisa bandingin juga sama para penyanyi treble Choir of St Mary’s Cathedral, tempat gw dulu nyanyi tiap hari, literally. Nah, intinya adalah, boys choir dari Kopenhagen ini beda lah ya. Secara musikal, mereka bagus. Produksi vokal juga kentara hasil didikan tiap hari. Tapi sayangnya, menurut gw frasering mereka kurang rapi. Jadi kedengeran banget mereka motong-motong nafas di tengah kalimat. Padahal kan salah satu prinsip utama bernyanyi dalam koor itu staggering nafas. Jadi gantian, biar secara keseluruhan, setiap frase yang memang harusnya berada dalam satu konteks ya dinyanyiin dalam satu nafas. Terus juga konsonan di akhir kalimat terdengar ngga seragam berentinya. Mayan ganggu sih, menurut gw, apalagi akustik gerejanya kering banget. Ngga ada gema sama sekali.

Pilihan repertoar dalam programnya juga kurang greget yah. Tapi mungkin gw bias, karena sebagai alumni padsu2 Indoneisya, kita jauh lebih adventurous, lebih kreatif, dan lebih versatile. Kita selalu berani menampilkan program yang sangat kontras, tentunya sebagian berkat musik paduan suara lokal yang sangat diperkaya budaya rakyat. Nah, di benua di mana musik ini lahir, pakemnya ya sangat formal dan standar. Kecuali ya kalo bawain musik yang either sangat menantang (kek musiknya Messiaen, Ligeti atau Penderecki, misalnya), atau ya itu bawain komposisi terbaru yang seringnya lebih bervariasi.

Tapi ya itu kita, ini mereka. Seneng banget bisa nonton konser lagi. Seperti biasa, bikin kangen pengen nyanyi lagi juga. Kapan yaaaaa?

Seperti itu. Lhalhu. Yang kedua, barusan banget gw nonton lagi wkwkwk. Kali ini konser paduan suara profesional favorit gw di sini, Danske Radio Vokalensemblet. Mereka ini sempat gonta-ganti nama dan konduktor, tapi kualitas ngga pernah mengecewakan. Hyaeyyallaaah, digaji getoloh! Kalo nyanyi fales ya dipechat yekhaaan wkwkwkwkw. Terakhir kali gw nonton mereka, mereka bawain aransemennya Clytus Gottwald buat 16 suara yang emejiing ituh. Akyu jatuh cinta wkwkwkwk. Tapi kali ini mereka konser gretongan bow. Jadi ceritanya sehabis mereka tur konser ke Eumerikah Serikat, mereka ngundang 4 konduktor muda dari Sekolah Musik Sakral di Universitas Yale untuk menggarap program konser yang intinya sih pendidikan. Keempat pengaba muda ini dikasi sekitar 3-4 repertoar untuk mereka garap bersama DR Vokalensemblet.

Dan seperti biasa, program mereka pun banyak yg gw kenal wkwkwkw. Ave Maria (Bruckner) yang cantik ituh dan Schaffe in mir, Gott, ein rein Herz (Brahms) yang menggetarkan jiwa ituh wkwkwkwk. Tapi yang paling menarik sih menurut gw karnyanya komponis Amerika William Schuman. Sangat kaya akan imajinasi, dinamis, dan penuh kejutan musikal. Ini akan jadi nomor tambahan dalam playlist gw: The last invocation, The unknown region, dan To all, to each. Keempat konduktor muda ini sangat kompeten, tentunya dengan kepribadian yang berbeza-beza, dan itu kelihatan dari sudut penonton. Repertoar lain yang juga menarik adalah dua komposisi dari Denmark karya Bernhard Lewkowitch (Ave regina caelorum dan Regina caeli laetere). Dan tentunya, a classic from Hubert Parry, At the round earth’s imagined corners.

Konser gratisan ini cuma sejam. Dan itu cukup buat mengobati rindu bermusik. Entahlah kapan ada waktu lagi gw nyanyi. Tapi yang pasti, dalam waktu ke depan, gw akan mencoba lebih rajin nulis blog lagi kek dulu yekhaaan. Masih pengen cerita banyak tentang tiga tahun di Skotlandia. Banyak banget cerita musiknya!

Ode kepada Paduan Suara Mahasiswa

Agria Budapest Folklore

AgriaSwara, performing Gai Bintang (Budi Yohanes) at the 11th Budapest Choir Competition

Tinggal jauh dari tanah lahir membuat orang biasanya merindukan hal-hal kecil yang mengingatkan mereka pada rumah, pada jajanan murah pinggir jalan, pada gawir dan ceruk yang menjadi tempat bersembunyi di masa kanak-kanak. Buat gw, ada hal lain yang membuat gw rindu pulang: paduan suara, AgriaSwara salah satunya.

Selama studi di Bogor, dan lama setelah itu, AgriaSwara menjadi rumah kedua gw. Lebih dari 11 tahun gw betah bermusik di situ. Dulu sewaktu baru masuk kuliah, untuk pertama kalinya gw mendengar musik paduan suara ketika sekelompok mahasiswa menyanyikan Gaudeamus Igitur dan aransemen One Moment in Time. Mereka menamakan diri AgriaSwara, dan… ah, ah, ah, gw langsung jatuh cinta.

Jadi begitulah, masa kuliah gw di IPB yang sama sekali nggak berjalan mulus, when it came to fulus, menjadi seru dan berwarna. Meskipun awalnya paduan suara ini cuma menyanyikan lagu-lagu perjuangan, aransemen sederhana lagu rakyat dan sesekali lagu pop, waktu itu gw pikir ini adalah organisasi mahasiswa terbaik yang ada di kampus. Gw merasa kerasan di paduan suara mahasiswa karena di organisasi ini gw bisa recharge otak setelah seminggu penuh berkutat dengan kuliah dan praktikum. Kelak, belakangan gw mengangkat topik kebersamaan dalam keanekaragaman dalam AgriaSwara sebagai salah satu bahasan dalam akreditasi pembelajaran eksperiensial terdahulu (APEL) gw. Tapi itu gw bahas lain kali.

Gw kuliah di Ai Pi Bi kelamaan. 7 tahun! Sempat dua kali dapet surat cinta dari rektorat, yang sepertinya udah jengah lihat gw nggak lulus-lulus, sempat nunggak SPP pula, lol. Bukan niat hati menjadi mahasiswa abadi sih, tapi apa daya, gw mesti banting tulang (sometimes literally when I was just fed up with everything and ‘sop buntut’ was within reach :P) mendanai kuliah sendiri. Jadi begitulah, mahasiswa terbaik FMIPA 2002 ini kepayahan mencoba menyelesaikan skripsi sambil kerja paruh waktu. Kalo ada yang menyelematkan gw dari depresi dan pikiran suisidal, mungkin AgriaSwara jawabannya.

Gw harus berterima kasih pada paduan suara mahasiswa karena dari situlah gw belajar banyak tentang musik, tentunya, tapi juga berorganisasi dan bersosialisasi. Gw nih lumayan introvert. I usually hate crowds and I’d be exhausted after too much social contact. Di PSM gw secara bertahap mengurangi kecenderungan ini. Gw juga nggak selalu percaya diri sama kemampuan gw di depan publik. Di PSM gw dilatih untuk menjadi banci tampil dan menyadari kalau gw punya bakat seni. Nggak tau ye orang lain setuju apa nggak, but whatever 😛

Jaman gw kuliah dulu, AgriaSwara berada dalam fase transisi dari pelatih sepuh yang sudah menjadi dirigen berjuta-juta tahun lamanya, ke regenerasi pelatih muda yang waktu itu kita percaya bisa memberi angin baru. Dan begitulah, gw ambil bagian dalam proses ini, menjadikan pianis sebagai pelatih, mencetuskan ide konser dengan repertoar klasik, sampai mencari konduktor tetap. Dari pak Victor Purba, ke Ingrid Cahya, ke Arvin Zeinullah.

Setelah fase ini, AgriaSwara seperti tak terhentikan. Dari konser ke konser, yang hampir konsisten ditampilkan tiap tahun. Dari festival ke festival, dalam dan luar negeri. Dari Jerman hingga Italia, Swiss hingga Irlandia. Gw kadang sampai nggak habis pikir… wow! Bisa sejauh ini lho! Gw sampai terharu banget, suatu ketika gw bahkan sempat nyambangin konser mereka di Belanda. Reuni setelah sekitar 5 tahun!

Keterlibatan gw dalam paduan suara mahasiswa menjadi highlight masa kuliah gw di Ai Pi Bi. Dan gw membawa pengalaman ini kemana-mana. 11 tahun jadi penyanyi paduan suara mahasiswa. Nah, lho, gw rasa nggak banyak yang bisa bertahan selama itu 😉

Here’s to your good (old) time in your own students’ choir: Na zdravi! ^^

Polifoni dari Negeri Kumpeni

Suatu waktu di sekitar tahun 2009, AgriaSwara beroleh kesempatan menggarap sebuah komposisi polifoni dari abad XVI berjudul “Ik zeg adieu” (Kuucapkan selamat tinggal), atau dalam ejaan purbanya “Ick seg adieu”, karya Gherardus Mes, seorang komponis asal Burgundi (sekarang Belanda-Belgia). Lagu ini diambil dari buku kumpulan lagu-lagu sekular rakyat Belanda yang ia gubah ke dalam empat suara.

Ick seg adieu,
wy twee wi moeten sceiden,
tot op een nyeu;
so wil ick troost verbeyden.
Ic late bi u dat herte mijn,
want waer ghi zijt, daer sal ic zijn.
Tsi vruecht oft pijn,
altoos sal ic u vry eygen zijn.

Terjemahan

Kuucapkan selamat tinggal,
kita berdua harus berpisah,
sampai kita berjumpa lagi;
aku akan merindukan kedamaianmu.
kutinggalkan hatiku padamu,
karena di mana pun engkau, aku akan ada di situ.
Dalam suka dan luka,
aku akan selalu bersamamu.

Stanza pertama dari lagu tersebut dinyanyikan dengan baik oleh Camerata Trajectina berikut:

Sepanjang sejarah keterlibatan gw dalam paduan suara di Indonesia dari tahun 1998 hingga 2009, hanya itu komposisi berbahasa Belanda yang pernah gw nyanyikan. Paduan suara lain di Indonesia pun setahu gw sangat jarang (atau belum pernah) membawakan komposisi dari negeri kumpeni. Di antara nama-nama komponis Eropa macam Brahms, Kodaly, Elgar, Monteverdi, Poulenc, atau yang lebih modern macam Tormis, Miškinis, Tavener, dan Ešenvalds, musik paduan suara dari Belanda tampaknya belum banyak dikenal di Indonesia. 

Gw sendiri baru akhir tahun 2011 mendapat kesempatan lagi menggarap komposisi yang ditulis oleh komponis Belanda. Bersama Nederlands Studenten Kamerkoor (NSK), waktu itu kita menyanyikan “In Despair” karya Joost Kleppe (*1963), yang diangkat dari puisi Kafavis asal Yunani tentang kisah cinta antara dua lelaki, “Woord-jazz op russies gegevens” karya Jeff Hamburg (*1956) untuk paduan suara berbicara (speaking choir), dan “Situaties” karya Wim de Ruiter (*1943) untuk 16 suara yang sangat eksperimental:

NSK juga memperdanakan komposisi avant garde karya Gijs van der Heijden (*1982), “A Collapsing Wavefunction of Violence” untuk gitar listrik, tiga paduan suara, dan soundtrack, yang ajaib dan susahnya bikin pengen bunuh diri.

Sejak itu, baru dengan Hollands Vocaal Ensemble (HVE) sekitar dua tahun kemudian, gw berkesempatan lagi mendalami komposisi dari negeri sepatu kayu. Tersebutlah nama Gerard Beljon, seorang komponis kontemporer yang cukup produktif. HVE membawakan “En wat dan” yang ia tulis untuk SSAATTBB, klarinet, kuintet musik gesek dan perkusi. Beljon mempublikasikan rekaman langsung dari konser HVE di Waalse Kerk Amsterdam tersebut (dan seperti biasa, gw nggak kelihatan di situ :P).

Pengalaman gw membawakan karya-karya komponis yang masih hidup tersebut adalah sang komponis diundang datang dalam latihan untuk memberikan semacam feedback. Bagaimanapun, sang komponis lah yang paling tahu seperti apa musik yang ia tulis seharusnya berbunyi. Mereka kemudian juga diundang menonton konser dan tentunya mendapat penghormatan yang layak. Menjadi sangat spesial ketika karya mereka diperdanakan oleh paduan suara. Seperti pernah gw bahas sebelumnya di sini, premiére sebuah karya musik (paduan suara) di Eropa adalah sebuah perayaan musikal yang dinantikan banyak orang. Momen ini menjadi batu loncatan karier yang penting buat sang komponis, daya tarik konser buat publik, mendongkrak reputasi paduan suara yang memperdanakan karya tersebut, dan juga tentunya memperkaya pustaka musik paduan suara. Tidak murah meminta seorang komponis menulis musik untuk kita perdanakan.

Di Belanda, biaya penulisan sebuah komposisi baru terdiri atas honor buat penulis teks (misalnya diangkat dari puisi) atau libretis dan komponis, serta biaya pembuatan material untuk penampilan (misalnya penerbitan partitur). Tawar-menawar antara komponis dan paduan suara diizinkan, tetapi Perkumpulan Komponis Belanda (GeNeCo) memberikan kerangka dan beberapa ketentuan. Tujuannya tentunya supaya terjadi win-win situation.

Sebagai gambaran untuk tahun 2011, sebuah komposisi untuk paduan suara berdurasi sekitar 10 menit biasanya dihargai sekitar €6000 (Rp 96 juta). Kalau ditambah instrumen biaya ini akan bertambah lagi. Semakin kompleks pembagian suara, semakin tinggi harga sebuah komposisi. Bayangkan kalau untuk satu konser saja NSK memperdanakan hingga empat komposisi! Peran sponsor dan patron tetap menjadi tidak tergantikan di sini. Lebih jauh mengenai peraturan dan prosedur subsidi bisa dibaca di sini (dalam bahasa Belanda).

Musik kontemporer dari Negeri Kumpeni, sepanjang pengalaman gw, sangat eklektik. Para komponis mengambil inspirasi untuk musik mereka dari berbagai sumber: teks sastra, Google, pidato politik, bahkan perbincangan informal dua ibu-ibu di pasar ikan. Secara musikal, mereka juga sangat liberal. Mereka tidak takut membangkang, menentang kaidah-kaidah musik. Hasilnya, musik mereka sangat personal dan unik. Sejak berkenalan dengan musik atonal dan dodekafonik, gw mulai bisa mengapresiasi keindahan musik eksperimental. Atau mungkin lebih tepatnya, keunikan musik eksperimental. Sebagai penyanyi, gw dituntut sangat peka nada dan tajam intonasi (karena seringnya musik yang kita nyanyikan tidak berada dalam referensi konvensional, atau harmoni yang dinyanyikan paduan suara bertabrakan dengan harmoni musik pengiring). Modus novus harus sudah khatam deh pokoknya.

Nah, akhir bulan depan HVE akan menggelar konser yang mengangkat musik paduan suara Belanda dari awal abad XX. Kita akan membawakan beberapa karya monumental dari Jan Koetsier (1911-2006), Julius Röntgen (1855-1932), Henk Badings (1907-1987, yang lahir di Bandung), Rudolf Escher (1912-1980), Ton de Leeuw (1926-1996), dan Géza Frid (1904-1989).

Musik paduan suara Belanda dari abad ini juga memiliki karakteristik tersendiri. Escher, misalnya menulis musik dengan bahasa, tata bahasa dan bunyi yang begitu pribadi sedemikian hingga menurut Leo Samama semua pernyataan tentang pengaruh Jerman dan Perancis, tentang musik lama dan baru, tentang ruang dan waktu menjadi sia-sia dan tak berarti. Coba simak karya Escher yang sangat musikal berikut, dinyanyikan dengan penuh presisi oleh Nederlands Kamerkoor:

Atau musik Badings, sang pionir musik elektroakustik di Belanda berikut:

Dua komposisi berbahasa Perancis di atas, yang juga kental dengan pengaruh chansons Perancis, akan terdengar berbeda dengan “Concerto pour piano et choeur” yang ditulis oleh Frid, atau musik de Leeuw yang meditatif berikut:

Menarik untuk diketahui, komponis Belanda biasanya memilih untuk tidak menulis musik dengan teks berbahasa Belanda. Teks berbahasa Perancis, seperti beberapa komposisi yang baru gw sebutkan, atau berbahasa Jerman, seperti komposisi yang ditulis Koetsier dan Röntgen, biasanya lebih banyak digunakan. Dalam kasus komponis kontemporer, tentunya ada pergeseran, tapi biasanya pelaku musik di Belanda setuju kalau bahasa Belanda bukan bahasa yang sangat musikal. Pengalaman gw menyanyikan dan merekamstudio sebuah komposisi dalam bahasa Belanda, “Requiem voor de mens” (Rob Goorhuis, *1948), dengan NSK juga sepertinya mengkonfirmasi anggapan umum tersebut.

Meskipun demikian, satu hal yang menurut gw sangat bagus untuk kita pelajari adalah musik paduan suara di Belanda sangat dihargai oleh masyarakat. Tidak hanya dengan penghargaan simbolis atau retoris, tapi juga dihargai dengan uang yang layak. Selain penghargaan untuk komposisi baru seperti yang gw jelaskan di atas, partitur paduan suara, baik yang sudah diterbitkan maupun belum, juga dilindungi oleh hak cipta (dan ini bukan hanya tulisan di atas partitur yang kemudian difotokopi juga), tapi memang dipatuhi.

Sebagai pamungkas lema kali ini, silakan simak “Hymne aan Rembrandt” yang ditulis oleh Alphons Diepenbrock (1862-1921) untuk solo sopran, paduan suara perempuan dan orkestra berikut:

Buklet Konser VS Undangan Pernikahan

Musik yang baru saja kalian nyanyikan telah menyentuh rasa kemanusiaan saya. Terutama yang ini. (Ia menunjuk salah satu repertoar dalam buklet program konser) Saya menyimak dengan seksama pernyataan musikal yang kalian nyanyikan. Saya membaca dan menyelami setiap kalimat dan makna di balik bahasa yang  tidak selalu saya pahami. Sepanjang konser, saya seperti sedang trance. Saya akan menyimpan buklet ini baik-baik.

Testimonial ini gw dengar dari salah satu audiens di Waalse Kerk, Amsterdam, usai konser “Shakespeare and Songs” bersama Hollands Vocaal Ensemble beberapa waktu silam. Ia secara spesifik menunjuk pada bagian buklet konser, yaitu teks puisi Raymond Lévesque yang digubah oleh Philip Glass untuk SATB, Quand les hommes vivront d’amouryang tercetak dalam teks asli berbahasa Perancis dan terjemahannya dalam bahasa Inggris:

When men live in brotherly love
There will be no more misery
And the good days will begin
But as for us, we shall be long gone,
my brother
When men live in brotherly love
There will be peace on Earth
Soldiers will be troubadours
But as for us, we shall be long gone,
my brother

Dari sudut pandang penyanyi di atas panggung, tampak jelas bagaimana penonton yang hadir menjadikan buklet konser sebagai panduan mengapresiasi musik yang kami nyanyikan. Kekhususan tema konser kali ini, mengetengahkan syair sastra sekaliber Shakespeare, membuat buklet konser sebagai alat bantu yang sangat penting. Sebagai pelaku musik, HVE ingin agar pesan sang komponis lewat komposisinya sampai ke publik.

Empat tahun malang melintang di dunia paduan suara di sini, gw mengamati beberapa hal yang kayaknya menarik untuk kita diskusikan.

Buklet konser sebagai media pendidikan musik

Koor-koor di Belanda menganggap penting buklet konser, karena lewat buklet lah segala informasi mengenai konser dapat dibaca. Bukan hanya urutan repertoar, profil pengaba, pemusik dan penyanyi saja, tapi juga informasi terperinci mengenai setiap komponis, setiap lagu yang dinyanyikan, dan teks beserta terjemahannya. Buklet konser Kamerkoor Vocoza “Tussen mij en God” (Antara aku dan Tuhan) tahun 2011 ini misalnya. Setiap komposisi dibahas, dari sudut pandang latar belakang penciptaan dan apa relevansinya dengan tema konser yang diangkat kali itu. Entitas Tuhan menjadi tema sentral dalam konser tersebut, dan audiens bisa dengan mudah bergabung dalam proses kreatif-musikal yang kami lalui sebagai pemusik. Bahkan diskursus filosofis mengenai “Seperti apakah wujud Tuhan yang Anda percayai?” juga tertulis dalam buklet ini. Mayoritas masyarakat Belanda yang agnostik sekular sudah meninggalkan pandangan tradisional agama dan ketuhanan, tetapi spiritualitas tampaknya tetap menjadi bagian dari hidup mereka.

Kenapa sih segitu ribetnya bikin buklet konser seterperinci itu?

Konser paduan suara, menurut komunitas musik di Eropa (paling tidak yang sejauh ini gw amati), bertujuan tidak hanya sebagai ajang rekreasi dan apresiasi seni, tapi juga pendidikan musik. Di benua di mana musik paduan suara sudah mengakar dalam budaya mereka sejak ratusan tahun yang lalu, orang datang menonton konser paduan suara biasanya bukan sekedar duduk manis pasang telinga hip hip hura, tapi juga mereka biasanya ingin belajar hal baru, menemukan inspirasi musik baru, mengenal komponis dan komposisinya.

Beberapa tahun silam, Michael Allsen, seorang profesor dari sebuah universitas di AS menggagas semacam petunjuk pelaksanaan membuat buklet konser. Ia menekankan bahwa sebuah buklet konser yang bagus memiliki dua fungsi: memberikan gambaran latar belakang dan sejarah komposisi dan memberikan gambaran tentang apa yang bisa diharapkan oleh publik ketika mereka mendengarkan komposisi tersebut.

Bagian-bagian penting dalam sebuah buklet konser

Sebagai contoh, gw pake buklet konser Hollands Vocaal Ensemble yang gw bahas di awal tadi. (I know it’s in Dutch, but you can get an idea of how it looks.) Dalam buklet ini, yang seluruh isi dan layout-nya dikerjakan dengan rapi dan komprehensif oleh Marieke, salah satu penyanyi alto, penonton konser mendapatkan informasi lengkap tentang musik yang kami persembahkan. Buklet diawali dengan pengantar singkat, semacam benang merah, repertoar yang kami nyanyikan. Tidak ada basa-basi ucapan terima kasih di sini, hanya inti tema konser yang dikemas dalam semacam narasi singkat.

Kemudian dalam buklet konser ini para komponis dibahas satu persatu. Sekilas mungkin tampak seperti copy-paste dari Wikipedia, tapi kalo dibaca dengan teliti, tampak jelas kalau teks Shakespeare yang menjadi tema konser ini diberikan penekanan. Dari sekian banyak komposisi Britten, misalnya, hanya “Five Flower Songs” yang mengangkat teks penyair paling terkenal sepanjang masa ini. Dalam artikel yang ditulis Allsen tadi, dia juga mengetengahkan isu plagiarisme dalam buklet konser. Menurut dia, hal ini terjadi karena penulis buklet sekadar menyomot alias copy-paste dari sumber di internet.

Ringkasnya, sebuah buklet program yang bagus sebaiknya memuat:

  • Daftar repertoar
  • Latar belakang pemilihan repertoar dan judul konser
  • Sekilas tentang komponis dan komposisi dalam program (dan kaitannya dengan tema konser)
  • Teks lagu dan terjemahan
  • Profil pengaba dan paduan suara
  • Rencana konser berikutnya

Akhirnya, pilihan menyajikan buklet konser yang bagus (atau tidak) ada di tangan paduan suara. Kadang sumberdaya yang terbatas (baca: nggak ada yang cukup rajin meramu informasi dan menyajikannya) menjadi alasan audiens memperoleh buklet konser yang tampak seperti undangan pernikahan: mentereng, dicetak di atas kertas tebal dan mahal dengan disain menarik dan penuh warna… tapi miskin informasi. Atau mungkin konduktornya yang sekadar mencomot lagu ini dan itu tanpa ada benang merah atau tema yang jelas, sehingga sangat sulit membuat narasi yang koheren.

Jadi, pertanyaannya, lebih pilih mana? Fancy tapi miskin informasi, atau sederhana tapi kaya akan relevansi?

Perlu diingat, audiens membayar tiket bukan hanya untuk menikmati musik per se, tapi juga memperoleh informasi baru tentang musik yang mereka tonton. Selain tentunya musik dengan kualitas konser, informasi tentang musik yang dibawakan juga hak mereka.

The New Black: Ngefans sama James MacMillan

Ketika gw pertama kali menemukan musik James MacMillan di Spotify, yang dibawakan dengan penuh presisi dan keanggunan oleh The Sixteen (Harry Christopher) dalam album James MacMillan: Miserere mereka, gw langsung berpikir “This dude’s genius!”. Ada semacam pesona kebaruan dalam musik a cappella MacMillan yang ia sembunyikan dalam ornamen musikal kaya akan acciaccatura rancak dan melisma lincah. Kumpulan Strathclyde Motets-nya sangat eksperimental dan imajinatif, sementara Miserere-nya penuh perenungan dan meditatif, dan Tenebrae Responsories-nya yang ia gubah dalam kerangka modus novus menjadi ladang garapan paduan suara yang benar-benar bersahabat dengan interval-interval diabolik.

James MacMillan: Miserere

Dalam konteks lain, Stuttgart Vokalensemble (Marcus Creed) juga menunjukkan virtuositas mereka dalam album Vaughan Williams & James MacMillan, dengan O bone Jesu dan Mairi-nya yang kompleks, sulit, tapi … hhh … indah, hampir menyihir. Paduan suara mana pun yang cukup percaya diri dengan kemampuan musikalnya menurut gw seharusnya (pernah) menyertakan MacMillan dalam repertoar mereka. Sofia Vokalensemble (Bengt Ollen), yang juara European Grand Prix for Choral Singing tahun 2012 silam, Netherlands Radio Choir (Gijs Leenaars), London Symphony Chorus (Sir Collin Davis), dan BBC Singers adalah beberapa kelompok musik yang pernah menjawab tantangan musikal MacMillan.

Data est mihi omnis potestas

James MacMillan (*1959) yang lahir dan besar di Skotlandia adalah seorang komponis yang gubahannya banyak dipengaruhi oleh Katolisisme. Ia sering merujuk pada kesederhanaan bahasa musik kala Gregorian ketika menggubah. Pada saat yang sama, ia juga tidak sungkan bereksperimen dengan paradigma komposisi musik kontemporer, termasuk ya itu tadi, modus novus yang menakutkan itu. Tentang filosofinya dalam menulis musik dan kaitannya dengan keyakinan, ia berkata bahwa karena ia memiliki latar belakang keluarga Katolik kelas pekerja yang sangat tradisional, ia sulit membedakan apakah gubahannya memang secara sengaja bermuatan agama atau memang ia secara tidak sadar selalu mengacu pada nilai-nilai sakral. MacMillan tidak hanya menulis musik dengan tingkat kesulitan dan virtuositas tinggi untuk paduan suara profesional, tapi juga gubahan-gubahan sederhana tapi khas buat jemaat gereja biasa. Silakan simak apa katanya lebih lanjut di sini.

Factus est repente

Komponis yang juga konduktor ini menyelesaikan PhD-nya dari Universitas Durham pada tahun 1987, dan sejak itu banyak sekali paduan suara profesional yang memperdanakan karya-karyanya. Kalau ada yang juga tertarik untuk mengapresiasi musiknya, silakan kunjungi katalog karya MacMillan untuk paduan suara dari situs Boosey & Hawkes, lengkap dengan deskripsi mengenai setiap komposisi. Dalam katalog Boosey & Hawkes, terdapat kode tingkat kesulitan 1 – 5 dengan 5 sebagai yang tersulit. Nah, teman-teman bisa lihat kalau MacMillan menulis musik untuk tingkat kesulitan termudah (1) hingga tersulit (5), jadi rasanya paduan suara mana pun semestinya bisa. Oh ya, partiturnya beli yang asli yaaa, jangan bajakan ^^.

Di YouTube kalian bisa menemukan beberapa rekaman musik MacMillan, seperti “Dominus dabit benignitatem” dari Strathclyde Motets yang dibawakan oleh Sirventes Berlin berikut:

atau “Data est mihi omnis potestas” yang dibawakan oleh Westminster Choir College (Joe Miller) berikut:

Nah, jadi sebagai fans MacMillan, gw nih ceritanya pengeeeen banget bawain musiknya. Dalam kuesioner anggota baru Toonkunstkoor Amsterdam, gw juga sempat menyampaikan keinginan ini, ketika gw harus menjawab pertanyaan musik siapa dan yang manakah yang ingin gw nyanyikan. Gw jawab dong, Strathclyde Motets-nya MacMillan, St Luke Passion-nya Krzyszstof Penderecki, dan Path of Miracles-nya Joby Talbot.

Ternyata eh ternyata … beberapa bulan kemudian, Vrije Universiteit Kamerkoor yang dikomandani oleh Boudewijn Jansen (juga konduktor Toonkunstkoor Amsterdam) membuka lowongan untuk tenor buat program konser mereka bulan November nanti, dalam rangka memperingati hari kelahiran Benjamin Britten. Dalam program mereka gw lihat ada Strathclyde Motets. Haha! Gw langsung deh tuh sumringah. “You, milord, are mine!” VU Kamerkoor latihan Selasa malam, sementara Senen sama Rabu malam gw udah ada jadwal tetap latihan buat dua paduan suara lain. Tapi demi Pakde MacMillan, gw jabanin dah, Bang Jali. ^^

Ode kepada Musik: BMS, Kamēr, dan Pengabdian

Di tengah banjir notifikasi jejaring sosial mengenai hajatan musik paling bergengsi European Grand Prix for Choral Singing 2013, gw mengamati, menandai, dan mempelajari beberapa hal yang menarik untuk kita diskusikan. Tapi sebelumnya, dengan segala kerinduan pada musik paduan suara di Indonesia, gw ingin mengucapkan selamat atas penampilan Batavia Madrigal Singers yang sangat memukau. I’m rather shy to admit it, but I really got tears in my eyes having watched BMS perform. Sejak terakhir kali bernyanyi bersama mereka di tahun 2009, ansambel vokal yang dinilai paling berdedikasi pada artistri dan musikalitas ini sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pemilihan repertoar yang inovatif dan memperlihatkan virtuositas dan versatilitas paduan suara, perhatian nyata pada presisi (intonasi, interpretasi musik, sonoritas, olah dinamika, ritmus, dan unsur rinci lainnya), dedikasi mereka pada latihan untuk mempersiapkan lomba (yang kadang-kadang gw ikuti di mailing list BMS), semuanya membuat gw menahan napas berkali-kali dalam keterpukauan.

Di tengah kesibukan sehari-hari, senang rasanya gw sempat menyaksikan live streaming Guidoneum Festival EGP edisi ke-25 dari Arezzo. Karena keterbatasan waktu gw hanya sempat menonton penampilan BMS. Sejujurnya, gw juga tidak terlalu tertarik untuk melihat penampilan 4 peserta lain. Gw pikir, “Ah, yang lain mah paling juga ntar nongol di YouTube.” Tapi begitulah, sebagai spektator kali ini, gw menyaksikan betapa Avip Priatna, sang pengaba yang sejak tahun 1996 setia mengomandani BMS, telah menunjukkan pengabdiannya pada artistri dan musikalitas. Gw angkat topi untuk kerja keras mereka mengolah musik. Gw tahu persis betapa penampilan sekelas mereka bukanlah hasil dari santai-santai bergembira. Sekitar 2 tahun keterlibatan gw dalam BMS, gw mencermati dinamika kelompok dan hasrat bermusik yang selalu kental melayang-layang di udara ketika berlatih: Kak Avip di depan piano (waktu itu di Jalan Daksa), dan para penyanyi mengelilinginya dengan secarik partitur di tangan. Dari tahun ke tahun sejak itu, BMS semakin matang secara musikal. Mereka sama sekali tidak menunjukkan gejala ‘anget-anget t**i ayam’  seperti yang gw amati pada banyak paduan suara lain. Kontinuitas dan komitmen mereka seperti tak berujung. Untuk itu semua, gw mengangkat topi dalam kekaguman. Salut.

Lalu apatah gerangan hiruk-pikuk ‘kemenangan’ dan ‘kekalahan’ ini?

Ah, seperti Bela Bartok (1881-1945) pernah berkata, “Competitions are for horses, not artists.” Gw selalu skeptis pada nosi ‘menang’ dan ‘kalah’ dalam sebuah perlombaan artistik, baik itu musik maupun seni rupa. Keindahan dalam seni adalah sesuatu yang sangat subyektif. Pada akhirnya, akan sangat sulit membedakan mana yang lebih indah dari dua karya seni atau dua penampilan musikal ketika keduanya memang merupakan hasil dari dedikasi dan passion. Ketika gw kadang membaca papan nilai hasil perlombaan sebuah paduan suara, gw kadang suka bertanya-tanya, apalah bedanya 85 dan 87 dalam skala 0-100 ketika kita tidak membicarakan statistika dan ilmu pasti? Apalah bedanya sang juara, misalnya, yang meraih nilai 87 dari yang meraih nilai 85? Apakah selisih nilai itu berasal dari satu not yang salah dinyanyikan? Atau sekadar preferensi pribadi? Atau karena kostum yang nggak matching? … I mean, it’s not Candy Crush Saga we’re dealing with. 

Tapi baiklah, gw mengerti bahwa supremasi (lagi-lagi) yang ingin diraih melalui jalur kompetisi paduan suara memang suka tidak suka melibatkan euforia dan kekecewaan. Seandainya gw produser musik, BMS sudah dari dulu gw tawari album rekaman, biar musik mereka bisa dinikmati oleh khalayak yang lebih luas di seluruh dunia, tidak terbatas pada dinding gedung konser; supaya musik mereka bisa diakses dengan mudah di Spotify atau Deezer, sejajar dengan paduan suara hebat yang lain seperti The Sixteen, Nederlands Kamerkoor, atau Kammerchor Stuttgart. Supaya musik mereka abadi. Tapi sayangnya produser musik di Indonesia tidak ada yang segitu jatuh cintanya pada musik paduan suara sehingga dia akan dengan penuh antusiasme mempromosikan musik yang jelas-jelas lebih berkelas dan lebih bermanfaat ketimbang musik komersial. Sayangnya masyarakat kita belum menempatkan musik paduan suara pada relung budaya yang berakar kuat. Masyarakat musik di Indonesia masih lebih menyukai musik gampangcerna, daripada mencoba mengapresiasi harmoni njlimet dalam musiknya Max Reger, atau jangan jauh-jauh, ritmus rancak dalam komposisi terbaru penggubah muda kita seperti Ivan Yohan atau Budi Susanto Yohanes. Sayang seribu sayang.

Buat gw pribadi, European Grand Prix for Choral Singing bukan sebuah ajang mengenai siapa yang ‘menang’ dan ‘kalah’. (I just despise those words that I have to use quotation marks all the time.) Bahkan, gw sebenarnya tidak terlalu peduli siapa yang keluar sebagai juara. Gw mengikuti perkembangan dan perjalanan musikal peserta lain dalam EGP dari tahun ke tahun, dan gw sangat terinspirasi oleh pengabdian mereka semua pada musik. Tentu saja tingkat kemajuan mereka berbeda-beda. Ada juara EGP yang memang berasal dari budaya di mana masyarakatnya sangat mencintai paduan suara. Hal ini bisa dilihat dari sejarah musik paduan suara di negara asal mereka, jumlah komponis yang lahir dan musiknya diapresiasi di sana, pendidikan musik yang menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah, dan lain-lain. Ada juga yang tidak.

Kalau kita berbicara mengenai juara EGP tahun ini, Youth Choir Kamēr, misalnya, kita bisa melihat bagaimana para remaja ini beruntung bisa tumbuh dan berkembang dalam tradisi bernyanyi paduan suara. Sejak usia dini, mereka sudah tidak asing lagi dengan musik paduan suara, entah itu dari liturgi gereja, atau kurikulum sekolah yang menyertakan musik klasik di dalamnya. Banyak paduan suara di Latvia, baik amatir maupun profesional, menganggap premiere (perdana) sebuah komposisi yang ditulis oleh seorang komponis Latvia sebagai sebuah hari raya. Itu sebabnya komponis demi komponis lahir dan menjadi selebritis di sana. Sebutlah Ēriks Ešenvalds, Rihards Dubra, dan Pēteris Vasks. Kalau itu tidak cukup, mereka juga beruntung dikelilingi negara-negara yang juga mencintai paduan suara, seperti Lithuania dengan Vytautas Miškinis-nya, Estonia dengan Veljo Tormis-nya, dan negara-negara Skandinavia. Tidak mengherankan, kemudian, ketika paduan suara non-profesional macam Youth Choir Kamēr pun berkesempatan masuk ke dapur rekaman. Musik mereka bisa diakses gratis di sini dan di sini. Di pihak lain, ada juga juara EGP yang tidak berasal dari budaya paduan suara yang dominan, seperti Jepang.

Tapi, rasanya terlalu menarik untuk tidak disebutkan bahwa selain budaya paduan suara yang kuat di negaranya, Youth Choir Kamēr sepertinya juga memiliki struktur organisasi yang sangat suportif bagi pencapaian musikal mereka dari waktu ke waktu. Mereka memiliki dua guru vokal tetap yang memang dibayar untuk melatih vokal setiap penyanyinya secara terpisah. Urusan dasar-dasar teknik vokal tidak dipegang oleh sang konduktor. Mereka juga memiliki departemen marketing dan PR tersendiri. Jadi urusan dana yang selalu menjadi masalah utama keberlangsungan hidup paduan suara tidak lagi membuat sang konduktor sakit kepala. Ia cukup berkonsentrasi pada musik dan para penyanyi. Berkat tim yang kuat, mereka memiliki banyak sekali patron dan sponsor tetap.

Dari sudut pandang paduan suara, Indonesia berbeda dengan Latvia, atau negara-negara lain di Eropa. Dalam hal musikalitas berpaduan suara, kita terbilang masih muda. Baru pada sekitar akhir tahun 90-an paduan suara di Indonesia, dirintis oleh Paduan Suara Universitas Parahyangan (Avip Priatna) pada waktu itu, mulai menggiatkan musik paduan suara dalam format klasik, dengan menyertakan repertoar zamani. Sejak saat itu, perlahan tapi pasti, satu persatu paduan suara lain juga mulai menunjukkan pencapaiannya, entah dari keikutsertaan dalam lomba atau konser reguler. Kita mulai bangun dari tidur panjang. Berkat kegigihan para konduktor dan para penyanyi, Indonesia mulai terdengar di panggung internasional, bukan melulu karena eksotisme musik oriental macam angklung dan gamelan Jawa, tapi benar-benar musik paduan suara yang layak disandingkan dengan paduan suara internasional. Jika budaya musik paduan suara dipertahankan seperti ini, jika gedung-gedung konser penuh dengan jadwal penampilan paduan suara, jika sekolah-sekolah dipenuhi dengan alunan harmoni musik paduan suara di samping musik populer, maka gw rasa, dalam beberapa tahun, kita juga akan memiliki budaya paduan suara tersendiri, khas Indonesia. 

Lalu, buat apa sih semua ini? Cuman buat kebanggaan menjadi bangsa Indonesia?

Well, I wonder.

Gw cenderung lebih suka meneguhkan idealisme gw murni pada perayaan musikal. Dalam dunia yang semakin mengglobal dan interkultural, rasanya jargon-jargon nasionalisme sudah tidak terlalu relevan, apalagi dalam musik. Tapi baiklah, jika itu yang menjadi opini publik, gw tidak menyalahkan. Yang jelas, musisi terbaik, pada akhirnya, adalah mereka yang mencintai musik atas nama keindahan musik itu sendiri, bukan karena tuntutan sektarianisme yang cenderung membelah bukannya menyatukan.

Untuk Batavia Madrigal Singers dan semua penggiat paduan suara, cheers!

Artistri Menurut The Sixteen dan Harry Christophers

Sixteen_Group_1_TightCrop_WebRes_RGB

Saat ini, tidak ada paduan suara lain yang lebih sering gw dengarkan selain The Sixteen. Berkat media penyedia musik cuma-cuma macam Spotify dan Deezer, dengan penuh ketertarikan dan keingintahuan gw menjelajahi satu per satu album rekaman ansambel vokal profesional yang dikomandoi oleh Harry Christophers ini. Sejak tahun 1979 hingga 2013, The Sixteen sudah memproduksi lebih dari 100 album rekaman musik paduan suara 600 tahun terakhir. Fantastis! Gw rasa belum ada ansambel vokal lain yang menandingi mereka. Bukan hanya kuantitas, tapi setiap album yang mereka rilis dipuji oleh banyak kritisi musik sebagai hasil seni berstandar tinggi. Mereka telah memenangi begitu banyak penghargaan tertinggi seperti Grand Prix du Disque dan Schallplattenkritik. Album “Renaissance: Music for Inner Peace” mereka memenangi Gramophone Award, sementara  album “Ikon” mereka dinominasikan untuk Grammy Award pada tahun 2007, dan album rekaman “Messiah” yang kedua mendapat penghargaan MIDEM Classical Award 2009 yang prestisius. Gw dengan penuh antusiasme mengundang teman-teman semua untuk mengapresiasi musikalitas mereka di sini.

Salah satu lagu dari album yang memenangi Gramophone Award tersebut bisa kalian nikmati di YouTube: Libera Nos gubahan komponis zaman Tudor John Sheppard. Simak bagaimana warna vokal soprano mereka yang sangat terang dan sama sekali tak bervibrato. Lalu coba juga dengarkan suara alto mereka yang seluruhnya dinyanyikan oleh para pria! Tenornya yang sorgawi, dan bassnya yang beresonansi. Ah, dengerin sendiri deh!

Dalam lema blog mengenai supremasi paduan suara, gw sempat menyebut nama The Sixteen, dalam bahasan mengenai pelbagai cara mencapai kejayaan dan nama besar paduan suara. Nah, senada dengan lema tersebut, The Sixteen juga dikenal oleh masyarakat paduan suara dunia lewat konser-konser mereka yang berkualitas. Mereka tampil di gedung-gedung konser terkemuka di pelosok Eropa, Jepang, Australia, dan benua Amerika. Gw cukup beruntung sempat menonton salah satu konser mereka di Queen Elizabeth Hall, London, pada tahun 2010. Mereka telah dengan sangat berbaik hati menjual tiket konser seharga £10. Selain menjadi bintang konser, mereka juga menjadi bintang program serial televisi Sacred Music di BBC 4, yang beberapa episodenya bisa kalian lihat di YouTube. Gw mengumpulkan beberapa episode lengkapnya di sini.

Ada banyak hal yang gw rasa bisa kita pelajari dari The Sixteen. Selama lebih dari 33 tahun keberadaannya, The Sixteen dikenal masyarakat paduan suara di seluruh dunia karena komitmennya pada musik. Mereka memegang reputasi untuk karya polifoni Inggris kuno, mahakarya kala Renaissance, interpretasi baru untuk musik zaman Barok dan Klasik, dan tentunya juga pelbagai gubahan musik modern dan kekinian. Pada jantung segala pencapaian ini adalah Harry Christophers, sang pendiri The Sixteen yang hingga kini masih berkomitmen pada artistri dan musikalitas ansambel yang ia pimpin.

Harry Christophers

Harry Christophers (*1953) mengawali perjalanan musikalnya sebagai anak paduan suara di Katedral Canterbury dan pemain klarinet dalam orkestra sekolahnya di King’s School, Canterbury. Segera setelah ia belajar Studi Peradaban Klasik di Universitas Oxford selama 2 tahun, Christophers langsung memulai karier musiknya. Adalah sekitar waktu itu ia mendirikan The Sixteen pada tahun 1979. Sejak itu, bersama ansambel vokal dan ansambel instrumentalis musik zamani The Sixteen, Christophers memproduksi musik berkualitas tinggi. Coba dengarkan interpretasi mereka terhadap gubahan Gregorio Allegri Miserere yang diambil dari salah satu episode Sacred Music.

Filosofi Christophers mengenai perannya sebagai pengaba menurut gw menarik. Ia bilang, sebagai konduktor, ia bertanggung jawab untuk ‘memberi makan’ para musisi yang ia aba, baik itu vokalis maupun instrumentalis, sedemikian hingga energi musik yang dibangun sampai ke audiens. Tentang rekrutmen penyanyi, ia juga memiliki pandangan tersendiri. Ia percaya bahwa selain kualitas individual para penyanyinya (kemampuan prima vista, musikalitas tinggi dan daya tanggap yang cepat, intonasi sempurna dan perasaan ritmis yang tajam), 50% sisanya adalah bahwa setiap penyanyi harus memiliki karakter yang baik. Pada akhirnya, adalah kerjasama tim yang menentukan keberhasilan mereka sebagai paduan suara. Kesediaan untuk mendengarkan satu sama lain menjadi syarat wajib.

Nah, di atas segalanya, menurut gw hal yang paling penting yang dapat kita tiru dari para musisi sejati ini adalah komitmen. Banyak penyanyi The Sixteen yang masih bernyanyi sejak grup ini didirikan. Bayangkan, lebih dari 30 tahun bernyanyi bersama. 30 tahun yang penuh musik.  Ambil contoh salah seorang kontratenornya, Chris Royall, yang bernyanyi dalam arahan Christophers sejak 1979. Atau Sally Dunkley, salah satu soprano The Sixteen, yang juga setia sejak konser pertama, sambil juga memperkuat the Tallis Scholars dan Gabrielli Consort yang mengkhususkan diri pada musik kuno dan kala Renaissance. Sally mengaku bahwa salah satu hal yang membuatnya betah bernyanyi dalam ansambel vokal ini adalah atmosfer kerjasama dalam tim yang selalu hangat dan penuh keramahan. Sang konduktor, menurut Sally, juga selalu memberi kesempatan para penyanyinya menjelajahi berbagai kemungkinan, termasuk mengembangkan karier sebagai penyanyi solo. Salah satu sopranonya yang lain, Elin Manahan Thomas, hingga kini telah mengukir karier solo tersendiri.

Nah, The Sixteen mungkin memang berada dalam tingkat musikalitas yang berbeda dari kebanyakan paduan suara, karena mereka profesional. Setiap penyanyinya menempuh pendidikan musik formal dan menjadikan musik sebagai mata pencaharian hidup. Tapi, coba renungkan, kecintaan dan komitmen mereka pada musiklah yang pada akhirnya membedakan mereka dari yang lain. Dan itu dengan mudah bisa kita dengarkan ketika mereka bernyanyi. Untuk para penyanyi paduan suara amatir seperti gw, rasanya kecintaan dan komitmen ini juga penting, karena hanya dengan itulah sebagai musisi kita terus mempertajam dan mengembangkan artistri dan musikalitas kita.

Semoga menginspirasi.

Pusaka Musik Kontemporer Stravinsky

Stravinsky

Igor Stravinsky (1882-1971) dipandang sebagai komponis paling orisinil dan berpengaruh abad ke-20. Ia belajar musik di bawah bimbingan Rimsky Korsakov di St Petersburg. Beberapa gubahannya untuk musik balet, yaitu The Firebird, Petrushka dan The Rite of Spring memperlihatkan bagaimana Stravinsky berevolusi secara musikal dari nasionalis menjadi modernis. Stravinsky lahir di Rusia, kemudian beremigrasi ke Perancis, kemudian ke Amerika. Hidupnya yang kosmopolitan dan mendunia tercermin dalam gubahan-gubahannya. Ia menulis musik liturgi gereja ortodoks Rusia, tapi juga musik balet dalam bahasa Perancis, dan belakangan mengangkat banyak teks puisi berbahasa Inggris.

Musik Stravinsky pertama kali gw dengar pada tahun 2011, dalam sebuah konser kelulusan MaNOj Kamps, seorang mahasiswa Konservatorium Den Haag asal Sri Lanka. Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Musik dalam bidang conducting, MaNOj menggelar sebuah program konser berjudul “Liberté” (kebebasan). Untuk hari yang sangat menentukan itu, MaNOj secara cerdas dan teliti memilih repertoar konser yang ia aba sendiri. Tersebutlah, Glaubst du an die Unsterblichkeit der Seele (Claude Vivier, 1948-1984), In Memoriam Dylan Thomas (Igor Stravinsky, 1882-1971), Nach dir, Herr, verlanget mich (Johann Sebastian Bach, 1685-1750), Figure Humaine (Francis Poulenc, 1899-1963), dan perdana dunia Libera Me yang digubah sendiri oleh MaNOj (*1988). Sebuah program yang sangat ambisius. Gw sendiri ambil bagian dalam konser tersebut sebagai salah satu penyanyi paduan suara. Kita kebagian mengeksekusi gubahan Poulenc untuk paduan suara ganda yang sangat menantang itu, Figure Humaine (1943)

Sementara itu, Marcel Beekman, seorang tenor mapan menyanyikan gubahan Stravinsky untuk solo tenor, kuartet musik gesek dan kuartet trombon, In Memoriam Dylan Thomas (1954). Gubahan sepanjang lebih dari 6 menit ini ia abdikan sepenuhnya kepada Dylan Thomas sendiri, yang mangkat secara mengejutkan, padahal Stravinsky berniat bekerja sama dengan Thomas untuk menulis sebuah opera. Dengan penuh intensitas emosi, Stravinsky merangkai puisi Thomas “Do not go gentle into that good night” dengan “Rage, rage against the dying of the light”. Kelak, Eric Walter White memuji gubahan ini sebagai salah satu gubahan paling mengharukan yang ditulis Stravinsky sepanjang kariernya.

Persepsi gw ketika mendengarkan musik Stravinsky untuk pertama kali mungkin terlalu rendah hati. Ada semacam keindahan misterius dalam progresi harmoni yang diawali dirge 4 trombon ini. Dan gw yang nggak terlalu cerdas musik modern ini tidak serta-merta menangkap esensi musikal yang ia gubah dalam bingkai teknik komposisi duabelas-nada (dodekafoni), yaitu metode komposisi musik yang memastikan bahwa seluruh 12 nada kromatik digunakan secara merata.

Tangga nada dodekafonik

Tapi begitulah, musik Stravinsky ternyata sangat adiktif. Sekalinya kita bisa menangkap esensi musikal tersebut, keindahan musik Stravinsky barulah mengemuka. Mereka yang terbiasa mendengarkan, menyanyikan atau memainkan musik konvensional dalam tangga nada diatonik (do-re-mi-fa-so-la-si-do) akan harus mengerutkan dahi berkali-kali untuk bisa mengapresiasi musik dodekafonik. Dan itulah yang terjadi pada gw.

Tapi mungkin gw berjodoh dengan Stravinsky. Dua tahun kemudian, gw berkesempatan menyanyikan sendiri musiknya yang fenomenal itu. Dalam sebuah festival musik kontemporer di Den Haag, gw bersama Toonkunstkoor Amsterdam membawakan Symphony of Psalms yang dilaras ulang untuk dua piano, dirangkai kemudian dengan tiga gubahan liturgi Rusia akapela Bogoroditse Djevo, Veruyudan Otche Nash.

Gubahan dan larasan yang mengangkat teks mazmur mungkin sering sekali kita dengar. Tapi Simfoni Mazmur-nya Stravinsky sama sekali lain. Ia mengaku bahwa ia tidak berniat menggubah musik simfonik dengan menyertakan teks mazmur di dalamnya. Alih-alih, gubahan ini adalah nyanyian mazmur yang ia simfonikan. Coba dengarkan Monteverdi Choir (John Gardiner) dan London Symphony Orchestra dengan sempurna mengeksekusi Symphony of Psalms di Spotify (track nomor 5-7). Gubahan ini ia bingkai dalam sistem oktatonik (nah lho, apaan lagi tuh?), yaitu tangga nada yang terdiri atas 8 nada, tapi biasanya merupakan pergantian interval penuh dan paruh. Nah, gw nggak berniat membahas teori musik, tapi rasanya teks mazmur yang diangkat Stravinsky dalam gubahan ini menarik untuk gw sarikan.

Dari bagian pertama:

Exaudi orationem meam, Domine, et deprecationem meam. Auribus percipe lacrimas meas. Ne sileas.
Quoniam advena ego sum apud te et peregrinus, sicut omnes patres mei.
Remitte mihi, ut refrigerer prius quam abeam et amplius non ero.

Dengarkanlah doaku, ya TUHAN, dan berilah telinga kepada teriakku minta tolong, janganlah berdiam diri melihat air mataku!
Sebab aku menumpang pada-Mu, aku pendatang seperti semua nenek moyangku.
Alihkanlah pandangan-Mu dari padaku, supaya aku bersukacita sebelum aku pergi dan tidak ada lagi!

(Mazmur 39:12-14)

Musik oktatonik ini akan terdengar sama sekali berbeda dengan gubahan liturgi Rusia berikut. Stravinsky menulis 3 gubahan sakral pendek yang dianggap oleh para terpelajar musik sebagai manifestasi spiritualitas Stravinsky yang sempat pudar pada usia mudanya. Ketiga karya pendek ini, yaitu Doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kredo, digubah dalam kerangka musik yang lebih konvensional dan ‘ramah-penyanyi’. Selain pelafalan bahasa Rusia dalam Kredo yang rancak, tidak ada kesulitan berarti dalam mengolah lagu-lagu ini. Coba simak The Gregg Smith Singers (Robert Craft) membawakan 3 Russian Sacred Choruses.

Selain komposisi di atas, akhir tahun ini, sebagai bagian dari program musik Rusia, Toonkunstkoor Amsterdam juga akan membawakan gubahan Stravinsky yang sama sekali lain, Les Noces, sebuah musik balet yang berkisah seputar pesta pernikahan a la  Rusia. Yang ini lain kali deh gw bahas. Musik balet yang ajaib ini bisa kalian lihat di YouTube. TKA akan menyanyikannya dalam bahasa Perancis.

In Stravinsky’s words:

‘Music is given to us specifically to make order of things, to move from an anarchic, individualistic state to a regulated, perfectly conscious one, which alone ensures vitality and durability.’

— Igor Stravinsky