Saat ini, tidak ada paduan suara lain yang lebih sering gw dengarkan selain The Sixteen. Berkat media penyedia musik cuma-cuma macam Spotify dan Deezer, dengan penuh ketertarikan dan keingintahuan gw menjelajahi satu per satu album rekaman ansambel vokal profesional yang dikomandoi oleh Harry Christophers ini. Sejak tahun 1979 hingga 2013, The Sixteen sudah memproduksi lebih dari 100 album rekaman musik paduan suara 600 tahun terakhir. Fantastis! Gw rasa belum ada ansambel vokal lain yang menandingi mereka. Bukan hanya kuantitas, tapi setiap album yang mereka rilis dipuji oleh banyak kritisi musik sebagai hasil seni berstandar tinggi. Mereka telah memenangi begitu banyak penghargaan tertinggi seperti Grand Prix du Disque dan Schallplattenkritik. Album “Renaissance: Music for Inner Peace” mereka memenangi Gramophone Award, sementara album “Ikon” mereka dinominasikan untuk Grammy Award pada tahun 2007, dan album rekaman “Messiah” yang kedua mendapat penghargaan MIDEM Classical Award 2009 yang prestisius. Gw dengan penuh antusiasme mengundang teman-teman semua untuk mengapresiasi musikalitas mereka di sini.
Salah satu lagu dari album yang memenangi Gramophone Award tersebut bisa kalian nikmati di YouTube: Libera Nos gubahan komponis zaman Tudor John Sheppard. Simak bagaimana warna vokal soprano mereka yang sangat terang dan sama sekali tak bervibrato. Lalu coba juga dengarkan suara alto mereka yang seluruhnya dinyanyikan oleh para pria! Tenornya yang sorgawi, dan bassnya yang beresonansi. Ah, dengerin sendiri deh!
Dalam lema blog mengenai supremasi paduan suara, gw sempat menyebut nama The Sixteen, dalam bahasan mengenai pelbagai cara mencapai kejayaan dan nama besar paduan suara. Nah, senada dengan lema tersebut, The Sixteen juga dikenal oleh masyarakat paduan suara dunia lewat konser-konser mereka yang berkualitas. Mereka tampil di gedung-gedung konser terkemuka di pelosok Eropa, Jepang, Australia, dan benua Amerika. Gw cukup beruntung sempat menonton salah satu konser mereka di Queen Elizabeth Hall, London, pada tahun 2010. Mereka telah dengan sangat berbaik hati menjual tiket konser seharga £10. Selain menjadi bintang konser, mereka juga menjadi bintang program serial televisi Sacred Music di BBC 4, yang beberapa episodenya bisa kalian lihat di YouTube. Gw mengumpulkan beberapa episode lengkapnya di sini.
Ada banyak hal yang gw rasa bisa kita pelajari dari The Sixteen. Selama lebih dari 33 tahun keberadaannya, The Sixteen dikenal masyarakat paduan suara di seluruh dunia karena komitmennya pada musik. Mereka memegang reputasi untuk karya polifoni Inggris kuno, mahakarya kala Renaissance, interpretasi baru untuk musik zaman Barok dan Klasik, dan tentunya juga pelbagai gubahan musik modern dan kekinian. Pada jantung segala pencapaian ini adalah Harry Christophers, sang pendiri The Sixteen yang hingga kini masih berkomitmen pada artistri dan musikalitas ansambel yang ia pimpin.
Harry Christophers (*1953) mengawali perjalanan musikalnya sebagai anak paduan suara di Katedral Canterbury dan pemain klarinet dalam orkestra sekolahnya di King’s School, Canterbury. Segera setelah ia belajar Studi Peradaban Klasik di Universitas Oxford selama 2 tahun, Christophers langsung memulai karier musiknya. Adalah sekitar waktu itu ia mendirikan The Sixteen pada tahun 1979. Sejak itu, bersama ansambel vokal dan ansambel instrumentalis musik zamani The Sixteen, Christophers memproduksi musik berkualitas tinggi. Coba dengarkan interpretasi mereka terhadap gubahan Gregorio Allegri Miserere yang diambil dari salah satu episode Sacred Music.
Filosofi Christophers mengenai perannya sebagai pengaba menurut gw menarik. Ia bilang, sebagai konduktor, ia bertanggung jawab untuk ‘memberi makan’ para musisi yang ia aba, baik itu vokalis maupun instrumentalis, sedemikian hingga energi musik yang dibangun sampai ke audiens. Tentang rekrutmen penyanyi, ia juga memiliki pandangan tersendiri. Ia percaya bahwa selain kualitas individual para penyanyinya (kemampuan prima vista, musikalitas tinggi dan daya tanggap yang cepat, intonasi sempurna dan perasaan ritmis yang tajam), 50% sisanya adalah bahwa setiap penyanyi harus memiliki karakter yang baik. Pada akhirnya, adalah kerjasama tim yang menentukan keberhasilan mereka sebagai paduan suara. Kesediaan untuk mendengarkan satu sama lain menjadi syarat wajib.
Nah, di atas segalanya, menurut gw hal yang paling penting yang dapat kita tiru dari para musisi sejati ini adalah komitmen. Banyak penyanyi The Sixteen yang masih bernyanyi sejak grup ini didirikan. Bayangkan, lebih dari 30 tahun bernyanyi bersama. 30 tahun yang penuh musik. Ambil contoh salah seorang kontratenornya, Chris Royall, yang bernyanyi dalam arahan Christophers sejak 1979. Atau Sally Dunkley, salah satu soprano The Sixteen, yang juga setia sejak konser pertama, sambil juga memperkuat the Tallis Scholars dan Gabrielli Consort yang mengkhususkan diri pada musik kuno dan kala Renaissance. Sally mengaku bahwa salah satu hal yang membuatnya betah bernyanyi dalam ansambel vokal ini adalah atmosfer kerjasama dalam tim yang selalu hangat dan penuh keramahan. Sang konduktor, menurut Sally, juga selalu memberi kesempatan para penyanyinya menjelajahi berbagai kemungkinan, termasuk mengembangkan karier sebagai penyanyi solo. Salah satu sopranonya yang lain, Elin Manahan Thomas, hingga kini telah mengukir karier solo tersendiri.
Nah, The Sixteen mungkin memang berada dalam tingkat musikalitas yang berbeda dari kebanyakan paduan suara, karena mereka profesional. Setiap penyanyinya menempuh pendidikan musik formal dan menjadikan musik sebagai mata pencaharian hidup. Tapi, coba renungkan, kecintaan dan komitmen mereka pada musiklah yang pada akhirnya membedakan mereka dari yang lain. Dan itu dengan mudah bisa kita dengarkan ketika mereka bernyanyi. Untuk para penyanyi paduan suara amatir seperti gw, rasanya kecintaan dan komitmen ini juga penting, karena hanya dengan itulah sebagai musisi kita terus mempertajam dan mengembangkan artistri dan musikalitas kita.
Semoga menginspirasi.