Seribu jam berpaduan suara di Skotlandia

Lema kali ini aku pengen cerita lika-liku drama cinta segitiga di Skotlandia. (Click bait banget gak seh gw, wkwkwk). Tiga tahun hidup bersama musik, buku, dan labu Erlenmeyer.

Tahun 2016 aku memulai bab baru, dengan keberhasilan mendapat beasiswa pascasarjana, setelah melamar di belasan universitas di Eropa. Terhitung, dulu sempat wawancara dengan beberapa perguruan tinggi di Dublin, Oxford, Groningen, London, dan mendapat hasil positif di Leeds dan Bath. Tapi akhirnya aku memilih Edinburgh, karena bidang penelitiannya menurutku waktu itu adalah perpaduan sempurna antara kimia dan pendidikan.

Begitu aku mendapat kabar di bulan Februari kalau aku akan memulai studi bulan September, aku segera mencari informasi tentang paduan suara di Edinburgh yang bisa aku lamar audisi. Seperti bisa kalian baca di lema-lema terdahulu, ini biasa aku lakukan setiap kali hendak pindah ke dan tinggal lama di negara baru. Seperti kebanyakan ibu kota di Eropa, ada banyak pilihan. Aku tentunya sangat selektif. Prinsipku dalam memilih paduan suara adalah, meskipun amatir (artinya tidak dibayar), kualitas musik yang mereka produksi harus tinggi. Males juga kan kalo mesti nyanyi bareng paduan suara yang lemot. “Ain’t nobody got time for that!

Choral Scholar

Eniwei, dalam pencarian jati diri itu (hallah!), aku menemukan lowongan bertitel “Choral Scholar” pada salah satu katedral terbesar di Skotlandia, yang kebetulan berada di kota ini. Istilah choral scholar(ship) umum di Britania Raya dan Irlandia. Intinya adalah semacam beasiswa untuk bernyanyi dalam paduan suara, biasanya berafiliasi dengan katedral. Misalnya pada Katedral Wells dan Ely. Ada juga yang berafiliasi dengan universitas, semacam The Choral Scholars of University College Dublin. Atau dengan kapel universitas. Misalnya, Universitas Cambridge sudah lama merekrut mahasiswa mereka untuk bernyanyi dalam banyak paduan suara kapel kolese mereka. Oxford juga sama. Nah, aku waktu itu audisi untuk bernyanyi di Katedral St Mary. Aku sadar banget waktu itu kalau berhasil audisi, aku akan harus meluangkan banyak waktu, karena mereka termasuk katedral yang sangat prolifik kalau sudah urusan musik. Setiap hari kecuali Sabtu kita harus nyanyi. Dibayar sih, tapi tiap hari bow! Hari Minggu bahkan dua kali dalam sehari, Ekaristi pagi, Evensong sore. Buat yang ngga tau, Evensong ini tradisi liturgi Anglikan banget. Intinya adalah pelayanan di penghujung hari dengan nyanyian Mazmur, canticles (terdiri atas Magnificat dan Nunc dimittis), dan anthem. Ekaristi juga kurang lebih sama, tapi canticles diganti misa (tanpa kredo), hymne, dan satu motet. Audisinya pun syusye, pemirsah. Ini karena mereka memang mengharuskan prima vista paripurna. Ajaibnya, aku lulus juga!

Dan seperti itulah, di antara kesibukan meneliti, terjun ngelab buat ngajar dan ngumpulin data, aku nyanyi setiap hari. Dan kebayang dong, dengan frekuensi bermusik setinggi itu, kita cuma bisa latihan seadanya, setiap hari Selasa malam, dan hanya untuk bagian-bagian tersulit. Gempor juga wkwkwkw, secara gw kan paling banter juga latihan tuh ya buat konser yang paling berapa kali sih dalam setahun. Ini, basically tiap hari konser bow, dengan program yang terus berubah.

Selama menjadi choral scholar, sudah tak terhitung lagi berapa komposisi baru yang aku nyanyikan. Dari siklus lengkap Requiem-nya Durufle, Brahms, dan Faure, sampai musik terbaru komponis hidup macam James MacMillan dan Gabriel Jackson. Beberapa komposer modern menciptakan musik khusus buat St Mary, termasuk Kenneth Leighton dan Cecilia McDowell. Tapi pastinya ada juga kadang beberapa sudah pernah aku garap. Misalnya, Magnificat-nya Giles Swayne yang rancak dan agak eksotis itu. Dan tentunya Misa untuk paduan suara ganda-nya Frank Martin.

Tapi pengalaman bernyanyi bersama St Mary sampai saat ini belum ada duanya. Berasa banget aku berkembang pesat secara vokal dan musikalitas, mungkin ya karena intensitas dan frekuensi tinggi. Tapi juga karena tuntutan profesional, jadi istilahnya kalau ada salah nyanyi, gaji dipotong, wkwkwkw. (Ngga sampe segitunya sih, tapi berasa aja tanggung jawabnya). Gimana ngga maju pesat, anak-anak chorister-nya (yang nyanyi treble/sopran di barisan depan) sekolah musik di situ semua. Jadi St Mary ini punya sekolah musik sendiri, yang berbeda dengan kebanyakan sekolah musik kek di Indonesia, mereka menawarkan kurikulum penuh. Jadi, seperti sekolah biasa (SD sampai SMA), tapi banyak banget pelajaran musiknya, termasuk maen instrumen.

Selain kewajiban bernyanyi setiap hari, kita juga terlibat dalam rekaman CD profesional. St Mary sudah memproduksi banyak album rekaman, membawakan komposisi tematik, dari Taverner sampai Stravinsky. Diskografi mereka bisa didengarkan di Spotify. Aku terlibat dalam satu saja album rekaman mereka, yaitu komponis Inggris dari zaman Tudor, William Mundy.

Dari tahun 60an, St Mary juga rutin menjadi bagian dari BBC live recording, seperti yang berikut. Pun aku sempat terlibat dalam salah satunya. Banyak banget deh kesempatan tampilnya, termasuk program tukar kunjungan ke dan dari katedral lain di Skotlandia. Juga menjadi bagian gelaran internasional Edinburgh Fringe Festival yang terkenal itu. Dan seolah itu tidak cukup, selain komitmen harian bernyanyi di sini, aku juga nyanyi di tempat lain.

Paduan Suara Mahasiswa

Rasanya memang kurang lengkap yak kalo kuliah di Eropa tapi ngga gabung PSMnya. Aku sadar sih, komitmen di St Mary aja sudah sangat menyita waktu. Tapi demi melihat kualitas Edinburgh University Chamber Choir (EUCC), aku pun tergoda, wkwkwk. Aku inget waktu itu mesti ngebut bareng Graham, tenor, choral scholar lain yang sedang ambil master dalam bidang neurosains, jalan balik dari katedral setelah Evensong biar bisa ikut latihan EUCC. Selalu telat pastinya wkwkwk. Tapi dengan PSM ini, aku menjelajahi repertoar yang berbeda dengan St Mary. Pastinya ngga melulu musik sakral. Di bawah direksi Robert Brooks waktu itu, aku menggarap lagi Songs of Ariel-nya Frank Martin, yang pernah aku bawakan dengan Hollands Vocaal Ensemble tahun 2012 dulu. Lalu kita juga bawain Four Songs of Shakespeare-nya komponis Finlandia, Jaakko Mäntyjärvi.

Setelah dua kali konser lokal, kita tur musim panas ke Côte d’Azur. Seperti PSM pada umumnya, EUCC juga diwajibkan bernyanyi pada acara resmi universitas, seperti Academic Service di katedral lain di kota, St Giles yang indah itu. Dinamika bernyanyi dan berorganisasi di PSM seperti ini (dan juga sebelumnya di Indonesia dan Belanda), memang beda dari paduan suara lain. Selain jiwa mudanya sangat terasa dalam banyak acara sosial, termasuk ketika kita duduk melingkar di pantai di Nice, main games “never have I ever” setelah kita konser dan bersosialisasi dengan koor lokal, di PSM kita juga lebih bebas berekspresi. Tapi memang sih, kalau sudah urusan rasa kekeluargaan, ngga ada yang ngalahin Agria, hahahaha.

Menjelang akhir 2017, aku terpaksa harus berhenti. Komitmen akademik, profesional, dan pribadi di kedua belah kepulauan dan kontinental, dengan komplikasi krisis kesehatan mental berkepanjangan memaksaku kembali ke bangku terapi. Aku harus fokus pada kesehatan dan tentunya studi. Selama tahun 2018, aku sama sekali tidak bermusik. Dengan bantuan pembimbingku, sistem pendukung di Universitas Edinburgh (konseling dan layanan disabilitas) yang bagus, dan dukungan partnerku waktu itu, aku berhasil melalui salah satu masa terberat yang, meskipun tidak banyak orang tahu, membuatku hampir putus harapan. Ketika tahun 2019 aku menemukan diriku kembali, aku bisa berkarya lagi. Dan menjelang musim panas waktu itu, aku kembali ke Oxford. Tapi itu lema buat lain kali.

Aku ingin menutup lema ini dengan pesan. Jaga diri baik-baik yah, semuanya. Ingat, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Tidak ada yang memalukan dalam mencari bantuan ketika kalian berada jauh di dasar jurang depresi dan kegelapan. Dengan segala tantangan hidup di abad modern sekarang, banyak orang yang sebenarnya harus terapi. Aku sadar banget kalau di banyak belahan dunia, sistem kesehatan tidak menganggap ini penting. Atau sistem kesehatan segitu bobroknya sampai kita harus menjual ginjal hanya untuk pergi ke dokter! Tapi jika memungkinkan, pergi terapi.

Nah lho, lema tentang musik berakhir dengan kesehatan mental, hahaha. Sampai ketemu lagi lain kali…