Prahara Kemenangan di Praha

Seperti badai, taufan, prahara, euforia kemenangan yang terasa di Maiakovsky Hall, Gedung Nasional di Vinohrady, Praha. Aku yang ngga ikutan nyanyi, cuma tim penggembira pun jadi ikutan jingkrak-jingkrak, loncat-loncat, teriak-teriak di register sopran sampe kek orang gila wkwkwkwk. Ya maaf ya, pemirsa. Begitulah kerja dopamin kalo kita lagi bahagia banget. Aku bahagia buat mereka, buat kerja keras, pengabdian, apresiasi seni dan musik, dan mungkin juga pengorbanan pribadi, buat tercapainya tujuan mereka jauh-jauh datang dari Bogor ke Praha.

AgriaSwara, paduan suara mahasiswanya IPB, berkunjung ke Eropa tahun ini, setelah terakhir mereka ke Swiss tahun 2018, lalu tahun 2020 mereka ke… onlen 😦 Dunia festival paduan suara mulai menggeliat lagi bangkit dari kubur selama wabah kopit. Praga Cantat pun begitu. Tahun ini edisi ke-34, dan beberapa koor ikut ambil bagian. Kali ini bahkan ada dua peserta dari Indonesia selain kita (kita?). Ada Jakarta Youth Choir, nama yang baru kali ini aku dengar, tapi ya harap maklum, aku sudah ngga wara-wiri lagi di Jekardah yekhaan.

Eniwei, aku baru lihat kalau Agria mo ke Praha mungkin beberapa minggu yang lalu. Terus, kebetulan hari Kamis dan Jumatku ngga ada kelas, ngga ada rapat, meskipun kerjaan mah pastinya selalu ada. Tapi aku pikir, ya udah deh. Kerjaan aku bawa ke Praha lucu kali yaaah. Dan seperti itu lah, pemirsa. Aku pun memutuskan untuk nyambangin adek-adek Agria dan tentunya Kang Arvin sang pengaba. Terakhir kita ketemu kapan ya? Mungkin tahun 2015 waktu Agria kompetisi di Belgia dan tur ke Belanda. Delapan tahun yang lalu! Makanya, dengan senang hati, aku pun beranjangsana ke Praha, sekalian pengen reuni, silaturahmi, dan juga mengalami kembali keajaiban kota seratus menara ini. Tiga belas tahun lalu, aku kuliah di sini, bahkan sempat mencoba belajar bahasa Ceko (dan tidak berhasil, tentunya, wkwkwkw).

Aku seneng banget pas ketemu Kang Arvin pada hari kompetisi pertama. Tukar cerita, update kondisi Agria sekarang. Ketika aku dengar mereka latihan, AgriaSwara kupikir tambah matang secara vokal. Timbrenya semakin Eropa, tanpa kehilangan identitas vokal Asia. Aku bisa bilang gitu setelah aku sendiri sudah bernyanyi dengan abang-abang dan noni-noni bule dari Benua Biru ini, 14 tahun terakhir. Basnya sangat beresonansi, dan tenornya juga terdengar klasik. Ini paling kentara di nada-nada tertinggi. Altonya solid, pada beberapa lagu sekilas terdengar seperti tenor. Dugaanku itu tuntutan interpretasi. Soprannya juga juara. Bahkan dengan tantangan cuaca musim dingin, dengan suhu konsisten di bawah 10 derajat Celsius, sonoritas mereka masih terjaga.

Tapi semuanya ya harus diujikan dalam lomba. Agria ikut dua kategori, mixed choir dan folklore, dan keduanya ditampilkan pada hari pertama. Kita mulai dengan kategori mixed choir, dengan motetnya Heinrich Schütz Die Himmel erzählen die Ehre Gottes. Aku pernah bawain ini dulu sama Hollands Vocaal Ensemble, dan bagian-bagian paling penting di lagu ini, terutama tenornya, aku pikir sangat indah dibawakan. Interpretasi Arvin untuk karya Barok awal ini tentunya juga memang seharusnya, layak zaman, layak teknik. Frasering teks Jerman lagu ini juga okeh banget. If anything, double l dalam kata seperti “alle Lande” boleh lebih tebel. Referensiku untuk double l dalam bahasa Jerman yang bener biasanya Kammerchor Stuttgart, bawain kantata-kantata Bach. Lovely opening track for this category!

Komposisi berikutnya adalah Daemon irrepit callidus, karya Gyorgy Orbán, yang singkat, padat, dan penuh setan menyesatkan wkwkwkw. Aku ingat bawain ini tahun 2012 dulu dengan Paduan Suara Mahasiswa Negeri Kumpeni, NSK. Kalau dibawakan dengan benar, komposisi ini bisa efektif memamerkan kemampuan intonasi kromatik dan stamina diafragma berkat banyaknya sforzando dan staccato, selang-seling legato crescendo yang rancak. Sisi lain dari bilah pisaunya adalah, kalau tidak teliti, progresi kromatiknya sangat berisiko jadi sloppy dan berantakan. Aku pikir Agria cukup teliti, dan sepertinya juri pun berpikir begitu.

Komposisi ketiga adalah lagu wajib untuk kategori ini, Napadly písně dari Antonín Dvořák, komponis Ceko paling terkenal dan dicintai. Cantiiiiiiik. Dan interpretasi Arvin untuk bagian-bagian teks “per-la-mi” dan “zro-di-la” memang seharusnya, yaitu dalam konteks satu kata, satu frase, jadi ngga boleh kedengar staccato apalagi disjointed. Piano pula.

Berikutnya, komposisi dari negeri sendiri: Malin, karya Bagus Utomo. Bagus ini aku tahu dari komposisinya yang lain, Gayatri, yang juga dibawakan Agria kali ini. Tidak seperti Gayatri, belum banyak yang membawakan Malin. Dan aku pikir, Praga Cantat ini menjadi ajang European premiere buat komposisi yang sangat powerful ini. Aku tentunya tahu persis konteks budaya dan mitologi Malin Kundang yang menjadi jiwa musik ini. Tapi Bagus aku pikir sangat inovatif dalam meramu teks dan bunyi. Perkusi sederhana menjadi seperti autoritas ritme di beberapa bagian. Tapi yang paling menarik adalah permainan melodi yang kadang sangat terdengar horor, dengan jeritan-jeritan kuntilanak (for the lack of a better word). Lalu ada bagian penuh kesedihan, yang dinarasikan dengan penuh jiwa oleh solis Vinisha. Malin akan berhasil dengan apa yang komponis mau, bahkan tanpa efek visual dan teatrikal. Dalam kasus Agria, efek tersebut tentunya menambah lapisan penuh arti, membuat kemasan musik secara keseluruhan menjadi lengkap, autentik, inovatif, dan menyihir.

Itu lapdangmatku buat kategori mixed choir, pemirsah.

And guess what, Agria menang kategori ini, dengan predikat emas.

YAAAAAAAAYYYYYYY!!!!!

Di kategori folklore, Agria membawakan tiga komposisi juga. Sarinande, dari Maluku; Lisoi, dari Sumatera Utara; dan Gayatri, dari Bali. Penampilan Agria untuk ketiga karya anak bangsa ini juga bagus banget! Dan aku pikir pilihan repertoar Agria sesuai dengan apa yang panitia minta, i.e. diverse in styles. Sarinande yang lebih mengutamakan keindahan legato dan penceritaan lanskap azur pastoral Ambon manise, kontras dengan Lisoi yang hedonis, giacoso, dan penuh dengan pesan joie de vivre. Lalu tentunya ditutup dengan Gayatri yang mistis, sakral, dan sejatinya adalah doa. Untuk ketiga komposisi ini, penghargaanku setinggi-tingginya untuk Arvin, karena Agria menakar segi teatrikal, agar tidak mengorbankan vokal. Terlalu banyak kasus dalam kategori ini yang isinya lebih ke teater dan seni tari daripada paduan suara. I mean, it’s nice to have a show and dance and whatnot, but we’re here for the music.

Eniwei, Agria masuk Grand Prix dong ah. Yuk yak yuk.

To be continued…

OK, lanjyut. Jadi besoknya beberapa peserta boleh tampil sekali lagi, untuk menampilkan musik selama maksimal 10 menit, sebaiknya kontras, seperti persyaratan babak penyisihan, dan tentunya menjadi tour de force kemampuan vokal, presisi, interpretasi, dan kualitas secara keseluruhan. Aku sempet menyaksikan penampilan salah satu grand finalist sebelum kita, yaitu Cansona Neosoliensis, female chamber choir dari Slovakia. Mereka membawakan dua komposisi modern yang menurutku sangat imajinatif. Sayang kita ngga dapet program dalam babak ini. MC, yang ngingetin aku sama Anthony dari Candy Candy wkwkwkw (maklum anak 90an), tentunya menyebutkan judul dan komponis, tapi sayangnya tidak ada yang diprint. Ini saran buat panitia kompetisi, babak grand prix tuh justru seringnya menampilkan kejutan, jadi detail komposisi sebaiknya diprint, bahkan kalau pun hanya di atas secarik kertas. Bagikan ke audiens sebelum mulai. Ingat, pendidikan musik untuk publik. Itu penting!

Nah, selain program yang imajinatif, vokal yang cukup solid, aku cukup terpana juga oleh mbak-mbak bergaun hitam bermakeup goth ber-vibe abad pertengahan Kastil Drakula ini (hallah, apasseh wkwkwkwk). Aku sempet ngejagoin mereka juga. Strong contender nih, pikirku. Tapi setelah satu peserta lain tampil (yang sayangnya aku ngga inget, mungkin Riga Chamber Choir), barulah giliran Agria. Arvin menggelar dua komposisi, dibuka dengan komposisi dari Josu Elberdin, Segalariak, yang sudah cukup populer berkat kompetisi Tolosa. Lalu Malin dapet reprise, and I couldn’t be happier! Aku pribadi sangat menikmati program yang ditampilkan Agria di babak ini.

Hasilnya sudah pada tahu sekarang. Agria menjadi juara umum pada kompetisi ini, dengan dua medali emas untuk kedua kategori, dan yang mengejutkan adalah mereka memberi dua penghargaan khusus untuk outstanding performance komposisi Malin dan penampilan solo dalam lagu tersebut oleh Vinisha. Aku baru kali ini mendengar ada penghargaan khusus untuk penampil solo dalam konteks paduan suara. Such is the power of music! All prizes, well deserved. Sekali lagi, selamat untuk pencapaian tertinggi kali ini. Semoga bisa menjadi katalis (kimia banget yak gw wkwkwk) untuk peningkatan kualitas terus menerus ke depannya. Aku sangat tersentuh karena bahkan dengan hasil seperti ini pun, Agria tetap kritis pada musikalitas dan level artistik mereka saat ini. Sungguh karakter musisi dan seniman sejati! Tapi, aku berharap, Agria bisa menepuk bahu satu sama lain, “You’ve done a marvellous job! Bravo! Bravissimo!” Semoga kemenangan ini dirayakan dengan semestinya, karena ini harus dirayakan. Untuk institusi yang merumahi Agria, semoga struktur akademik memungkinkan para pelaku seni macam mereka ini untuk tumbuh dan berkembang tanpa ada tekanan harus lulus terlalu cepat. Masalah terbesar dalam paduan suara mahasiswa adalah regenerasi yang terlalu cepat, karena para anggotanya hanya aktif dua tiga tahun saja. Kematangan bermusik butuh lebih dari itu. Dan aku berharap semoga semua universitas paling tidak memberikan kelegaan akademik. Kalau di Edinburgh dulu kita menyebutnya accommodation, yang berlaku untuk banyak konteks dan situasi. Sayang kalau bibit-bibit berkualitas ini harus berhenti berkembang. Tentunya, aku juga berharap yang sudah lulus pun masih bertahan, paling tidak beberapa tahun. Tentunya prioritas dalam hidup akan berubah, tapi semoga dalam kondisi apa pun, masih ada waktu untuk Agria.