Ode kepada Paduan Suara Mahasiswa

Agria Budapest Folklore

AgriaSwara, performing Gai Bintang (Budi Yohanes) at the 11th Budapest Choir Competition

Tinggal jauh dari tanah lahir membuat orang biasanya merindukan hal-hal kecil yang mengingatkan mereka pada rumah, pada jajanan murah pinggir jalan, pada gawir dan ceruk yang menjadi tempat bersembunyi di masa kanak-kanak. Buat gw, ada hal lain yang membuat gw rindu pulang: paduan suara, AgriaSwara salah satunya.

Selama studi di Bogor, dan lama setelah itu, AgriaSwara menjadi rumah kedua gw. Lebih dari 11 tahun gw betah bermusik di situ. Dulu sewaktu baru masuk kuliah, untuk pertama kalinya gw mendengar musik paduan suara ketika sekelompok mahasiswa menyanyikan Gaudeamus Igitur dan aransemen One Moment in Time. Mereka menamakan diri AgriaSwara, dan… ah, ah, ah, gw langsung jatuh cinta.

Jadi begitulah, masa kuliah gw di IPB yang sama sekali nggak berjalan mulus, when it came to fulus, menjadi seru dan berwarna. Meskipun awalnya paduan suara ini cuma menyanyikan lagu-lagu perjuangan, aransemen sederhana lagu rakyat dan sesekali lagu pop, waktu itu gw pikir ini adalah organisasi mahasiswa terbaik yang ada di kampus. Gw merasa kerasan di paduan suara mahasiswa karena di organisasi ini gw bisa recharge otak setelah seminggu penuh berkutat dengan kuliah dan praktikum. Kelak, belakangan gw mengangkat topik kebersamaan dalam keanekaragaman dalam AgriaSwara sebagai salah satu bahasan dalam akreditasi pembelajaran eksperiensial terdahulu (APEL) gw. Tapi itu gw bahas lain kali.

Gw kuliah di Ai Pi Bi kelamaan. 7 tahun! Sempat dua kali dapet surat cinta dari rektorat, yang sepertinya udah jengah lihat gw nggak lulus-lulus, sempat nunggak SPP pula, lol. Bukan niat hati menjadi mahasiswa abadi sih, tapi apa daya, gw mesti banting tulang (sometimes literally when I was just fed up with everything and ‘sop buntut’ was within reach :P) mendanai kuliah sendiri. Jadi begitulah, mahasiswa terbaik FMIPA 2002 ini kepayahan mencoba menyelesaikan skripsi sambil kerja paruh waktu. Kalo ada yang menyelematkan gw dari depresi dan pikiran suisidal, mungkin AgriaSwara jawabannya.

Gw harus berterima kasih pada paduan suara mahasiswa karena dari situlah gw belajar banyak tentang musik, tentunya, tapi juga berorganisasi dan bersosialisasi. Gw nih lumayan introvert. I usually hate crowds and I’d be exhausted after too much social contact. Di PSM gw secara bertahap mengurangi kecenderungan ini. Gw juga nggak selalu percaya diri sama kemampuan gw di depan publik. Di PSM gw dilatih untuk menjadi banci tampil dan menyadari kalau gw punya bakat seni. Nggak tau ye orang lain setuju apa nggak, but whatever 😛

Jaman gw kuliah dulu, AgriaSwara berada dalam fase transisi dari pelatih sepuh yang sudah menjadi dirigen berjuta-juta tahun lamanya, ke regenerasi pelatih muda yang waktu itu kita percaya bisa memberi angin baru. Dan begitulah, gw ambil bagian dalam proses ini, menjadikan pianis sebagai pelatih, mencetuskan ide konser dengan repertoar klasik, sampai mencari konduktor tetap. Dari pak Victor Purba, ke Ingrid Cahya, ke Arvin Zeinullah.

Setelah fase ini, AgriaSwara seperti tak terhentikan. Dari konser ke konser, yang hampir konsisten ditampilkan tiap tahun. Dari festival ke festival, dalam dan luar negeri. Dari Jerman hingga Italia, Swiss hingga Irlandia. Gw kadang sampai nggak habis pikir… wow! Bisa sejauh ini lho! Gw sampai terharu banget, suatu ketika gw bahkan sempat nyambangin konser mereka di Belanda. Reuni setelah sekitar 5 tahun!

Keterlibatan gw dalam paduan suara mahasiswa menjadi highlight masa kuliah gw di Ai Pi Bi. Dan gw membawa pengalaman ini kemana-mana. 11 tahun jadi penyanyi paduan suara mahasiswa. Nah, lho, gw rasa nggak banyak yang bisa bertahan selama itu 😉

Here’s to your good (old) time in your own students’ choir: Na zdravi! ^^

Tanggapi