Artistri Menurut The Sixteen dan Harry Christophers

Sixteen_Group_1_TightCrop_WebRes_RGB

Saat ini, tidak ada paduan suara lain yang lebih sering gw dengarkan selain The Sixteen. Berkat media penyedia musik cuma-cuma macam Spotify dan Deezer, dengan penuh ketertarikan dan keingintahuan gw menjelajahi satu per satu album rekaman ansambel vokal profesional yang dikomandoi oleh Harry Christophers ini. Sejak tahun 1979 hingga 2013, The Sixteen sudah memproduksi lebih dari 100 album rekaman musik paduan suara 600 tahun terakhir. Fantastis! Gw rasa belum ada ansambel vokal lain yang menandingi mereka. Bukan hanya kuantitas, tapi setiap album yang mereka rilis dipuji oleh banyak kritisi musik sebagai hasil seni berstandar tinggi. Mereka telah memenangi begitu banyak penghargaan tertinggi seperti Grand Prix du Disque dan Schallplattenkritik. Album “Renaissance: Music for Inner Peace” mereka memenangi Gramophone Award, sementara  album “Ikon” mereka dinominasikan untuk Grammy Award pada tahun 2007, dan album rekaman “Messiah” yang kedua mendapat penghargaan MIDEM Classical Award 2009 yang prestisius. Gw dengan penuh antusiasme mengundang teman-teman semua untuk mengapresiasi musikalitas mereka di sini.

Salah satu lagu dari album yang memenangi Gramophone Award tersebut bisa kalian nikmati di YouTube: Libera Nos gubahan komponis zaman Tudor John Sheppard. Simak bagaimana warna vokal soprano mereka yang sangat terang dan sama sekali tak bervibrato. Lalu coba juga dengarkan suara alto mereka yang seluruhnya dinyanyikan oleh para pria! Tenornya yang sorgawi, dan bassnya yang beresonansi. Ah, dengerin sendiri deh!

Dalam lema blog mengenai supremasi paduan suara, gw sempat menyebut nama The Sixteen, dalam bahasan mengenai pelbagai cara mencapai kejayaan dan nama besar paduan suara. Nah, senada dengan lema tersebut, The Sixteen juga dikenal oleh masyarakat paduan suara dunia lewat konser-konser mereka yang berkualitas. Mereka tampil di gedung-gedung konser terkemuka di pelosok Eropa, Jepang, Australia, dan benua Amerika. Gw cukup beruntung sempat menonton salah satu konser mereka di Queen Elizabeth Hall, London, pada tahun 2010. Mereka telah dengan sangat berbaik hati menjual tiket konser seharga £10. Selain menjadi bintang konser, mereka juga menjadi bintang program serial televisi Sacred Music di BBC 4, yang beberapa episodenya bisa kalian lihat di YouTube. Gw mengumpulkan beberapa episode lengkapnya di sini.

Ada banyak hal yang gw rasa bisa kita pelajari dari The Sixteen. Selama lebih dari 33 tahun keberadaannya, The Sixteen dikenal masyarakat paduan suara di seluruh dunia karena komitmennya pada musik. Mereka memegang reputasi untuk karya polifoni Inggris kuno, mahakarya kala Renaissance, interpretasi baru untuk musik zaman Barok dan Klasik, dan tentunya juga pelbagai gubahan musik modern dan kekinian. Pada jantung segala pencapaian ini adalah Harry Christophers, sang pendiri The Sixteen yang hingga kini masih berkomitmen pada artistri dan musikalitas ansambel yang ia pimpin.

Harry Christophers

Harry Christophers (*1953) mengawali perjalanan musikalnya sebagai anak paduan suara di Katedral Canterbury dan pemain klarinet dalam orkestra sekolahnya di King’s School, Canterbury. Segera setelah ia belajar Studi Peradaban Klasik di Universitas Oxford selama 2 tahun, Christophers langsung memulai karier musiknya. Adalah sekitar waktu itu ia mendirikan The Sixteen pada tahun 1979. Sejak itu, bersama ansambel vokal dan ansambel instrumentalis musik zamani The Sixteen, Christophers memproduksi musik berkualitas tinggi. Coba dengarkan interpretasi mereka terhadap gubahan Gregorio Allegri Miserere yang diambil dari salah satu episode Sacred Music.

Filosofi Christophers mengenai perannya sebagai pengaba menurut gw menarik. Ia bilang, sebagai konduktor, ia bertanggung jawab untuk ‘memberi makan’ para musisi yang ia aba, baik itu vokalis maupun instrumentalis, sedemikian hingga energi musik yang dibangun sampai ke audiens. Tentang rekrutmen penyanyi, ia juga memiliki pandangan tersendiri. Ia percaya bahwa selain kualitas individual para penyanyinya (kemampuan prima vista, musikalitas tinggi dan daya tanggap yang cepat, intonasi sempurna dan perasaan ritmis yang tajam), 50% sisanya adalah bahwa setiap penyanyi harus memiliki karakter yang baik. Pada akhirnya, adalah kerjasama tim yang menentukan keberhasilan mereka sebagai paduan suara. Kesediaan untuk mendengarkan satu sama lain menjadi syarat wajib.

Nah, di atas segalanya, menurut gw hal yang paling penting yang dapat kita tiru dari para musisi sejati ini adalah komitmen. Banyak penyanyi The Sixteen yang masih bernyanyi sejak grup ini didirikan. Bayangkan, lebih dari 30 tahun bernyanyi bersama. 30 tahun yang penuh musik.  Ambil contoh salah seorang kontratenornya, Chris Royall, yang bernyanyi dalam arahan Christophers sejak 1979. Atau Sally Dunkley, salah satu soprano The Sixteen, yang juga setia sejak konser pertama, sambil juga memperkuat the Tallis Scholars dan Gabrielli Consort yang mengkhususkan diri pada musik kuno dan kala Renaissance. Sally mengaku bahwa salah satu hal yang membuatnya betah bernyanyi dalam ansambel vokal ini adalah atmosfer kerjasama dalam tim yang selalu hangat dan penuh keramahan. Sang konduktor, menurut Sally, juga selalu memberi kesempatan para penyanyinya menjelajahi berbagai kemungkinan, termasuk mengembangkan karier sebagai penyanyi solo. Salah satu sopranonya yang lain, Elin Manahan Thomas, hingga kini telah mengukir karier solo tersendiri.

Nah, The Sixteen mungkin memang berada dalam tingkat musikalitas yang berbeda dari kebanyakan paduan suara, karena mereka profesional. Setiap penyanyinya menempuh pendidikan musik formal dan menjadikan musik sebagai mata pencaharian hidup. Tapi, coba renungkan, kecintaan dan komitmen mereka pada musiklah yang pada akhirnya membedakan mereka dari yang lain. Dan itu dengan mudah bisa kita dengarkan ketika mereka bernyanyi. Untuk para penyanyi paduan suara amatir seperti gw, rasanya kecintaan dan komitmen ini juga penting, karena hanya dengan itulah sebagai musisi kita terus mempertajam dan mengembangkan artistri dan musikalitas kita.

Semoga menginspirasi.

Mengapa semua orang seharusnya berpaduan suara, kata ilmuwan

Sejatinya, blog ini ditulis untuk berbagi pengalaman, wawasan, gagasan, dan keberagaman musik paduan suara. Tetapi lebih dari itu, juga supaya semua orang tertarik untuk bernyanyi di paduan suara. Mengapa? Ini argumentasinya.

Pada tahun 2010, sebagai bagian dari mata kuliah Akreditasi Pembelajaran Eksperiensial Lampau (Accreditation of Prior Experiential Learning, APEL), gw menulis portofolio akademik mengenai musik paduan suara dalam kaitannya dengan pencapaian ilmiah. Esai sepanjang 5000 kata ini memuat analisis biografis gw sendiri, sejak masa kecil yang gw habiskan di Tanah Parahyangan hingga masa tinggal sebagai mahasiswa pascasarjana di Negeri Antah Berantah pada waktu itu. Pertanyaan inti yang ingin gw selidiki dalam tulisan tersebut adalah: Bagaimana musik memberi pengaruh positif dalam pencapaian ilmiah? Nah, sebagai bagian dari proses tinjauan pustaka, gw menemukan banyak sekali kajian, penelitian, dan penemuan saintifik yang ternyata menjelaskan mengapa selama ini gw hanya merasakan manfaat dari musik paduan suara. Gw pengen banget berbagi hasil kajian ini karena gw rasa ini penting dan sangat menarik.

Bernyanyi dalam paduan suara itu menyehatkan

Sebuah studi oleh sekelompok ilmuwan dari Inggris dan Australia (Clift et al., 2007) menunjukkan bagaimana nyanyi paduan suara berdampak positif terhadap kualitas hidup, kesejahteraan, dan kesehatan. Riset yang melibatkan lebih dari 600 penyanyi paduan suara dari seantero Inggris tersebut memberikan akun empiris bagaimana mereka yang kesehatan psikologisnya relatif rendah memperoleh manfaat dari nyanyi paduan suara. Secara spesifik, empat kelompok berikut memperoleh manfaat paling besar dari nyanyi paduan suara:

  1. Mereka yang memiliki masalah kesehatan mental berkepanjangan
  2. Mereka yang memiliki masalah signifikan dalam hubungan/keluarga
  3. Mereka yang memiliki masalah kesehatan fisik
  4. Mereka yang sedang berduka karena kematian seseorang

Lebih jauh, penelitian ini juga menjelaskan bagaimana persisnya manfaat ini bekerja pada penyanyi. Para ilmuwan dari Universitas Canterbury Christ Church, Kolese Musik Royal Northern dan Universitas Griffith ini mengungkap enam “mekanisme membangun” dalam proses nyanyi paduan suara, yaitu:

  • efek positif
  • perhatian yang terfokus
  • pernapasan mendalam
  • dukungan sosial
  • rangsangan kognitif
  • komitmen teratur

Bernyanyi dalam paduan suara itu bermanfaat untuk kestabilan emosi

Dalam konteks yang berbeda, lima ilmuwan dari Jurusan Pendidikan Musik dan Jurusan Psikologi Universitas Johann Wolfgang Goethe di Jerman (Kreutz et al., 2004) juga mengungkap manfaat nyanyi paduan suara bagi kestabilan emosi. Berbeda dengan studi di atas yang lebih mengandalkan pengalaman anekdotal, studi para ilmuwan Jerman ini juga menyelidiki mekanisme fisiologis tubuh manusia dalam hubungannya dengan nyanyi paduan suara. Secara terperinci dan meyakinkan, para peneliti ini memaparkan bagaimana sekresi hormon Imunoglobulin A dan kortisol yang bertanggung jawab untuk kestabilan emosi bekerja ketika kita bernyanyi dalam paduan suara. Klaim mereka adalah berikut:

Nyanyi paduan suara menyebabkan peningkatan sekresi hormon S-Ig A, sementara efek negatif berkurang.

Menarik untuk diketahui, Kreutz dan rekan juga meneliti bagaimana mendengarkan musik paduan suara juga memberikan manfaat positif, yang ditunjukkan oleh menurunnya sekresi hormon kortisol, yang diproduksi oleh tubuh ketika kita mengalami stres. Secara konklusif, penelitian ini menemukan hubungan antara nyanyi paduan suara dengan kesehatan emosional dan kekebalan tubuh, yang ditandai oleh perubahan sekresi hormonal.

Bernyanyi paduan suara itu meningkatkan kecerdasan interpersonal

Kita mungkin pernah mendengar istilah kecerdasan majemuk (multiple intelligence) yang digagas oleh Howard Gardner pada tahun 1980-an. Dalam argumennya, Gardner menantang kepercayaan lama yang cenderung menyederhanakan istilah kecerdasan hanya berdasarkan IQ saja. Ia menegaskan bahwa kecerdasan seyogyanya ditinjau dari pelbagai sudut pandang, yaitu: linguistik, logis-matematis, spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal and naturalis. Gw tentunya tidak berniat menjabarkan teori ini satu per satu, tetapi kita dengan segera dapat mengenali kecerdasan musikal dan berasumsi bahwa nyanyi paduan suara tentunya berhubungan langsung dengan salah satu dimensi tersebut. Tetapi ada yang lain.

Pada tahun 2005, Bailey & Davidson dari Jurusan Musik Universitas Sheffield di Inggris menerbitkan hasil penelitian mereka. Kedua ilmuwan ini memfokuskan diri pada sekelompok tuna wisma terpinggirkan dan sekelompok penyanyi dari masyarakat kelas menengah. Seperti kedua hasil penelitian di atas, studi ini juga mengkonfirmasi efek positif nyanyi paduan suara terhadap kestabilan emosi. Tapi lebih dari itu, kelompok pertama menganggap bahwa bernyanyi dalam paduan suara telah membantu mereka dalam berhubungan sosial dan interpersonal. Hasil penelitian ini menyiratkan bahwa musik paduan suara, yang mungkin oleh beberapa orang dianggap sebagai musik elitis dan eksklusif, yang hanya bisa dinikmati dan digeluti oleh orang-orang tertentu saja (masyarakat gereja? mahasiswa? murid-murid sekolah vokal? orang kota? orang Eropa? dsb.), sejatinya juga bermanfaat untuk semua orang, tak terkecuali.

Dalam untaian kata sendiri:

When all of them seemed to turn out uneventful, I fell into the depth of despair. Fortunately enough for me, all through those uncertain times, music had always been my way of seeking refuge from the pressure of my goals and, thus, resuming the balance, the equilibrium. (Agustian 2010)

Kutipan tersebut diambil dari portofolio yang gw sebutkan di atas. Diawali dengan beberapa kali tatapmuka dengan Anz Buzzoni, dosen di universitas yang di Belanda, dimatangkan selama masa tinggal singkat di Republik Ceko, esai ini baru selesai ketika gw kembali ke Inggris tahun 2010. Dr Sulochini Pather, programme convener gw dari Roehampton University, memberi gw nilai A gendut untuk esai ini ^^. Dia membacakan sepenggal esai ini pada malam terakhir konferensi internasional mengenai pendidikan inklusif di Grove House, gedung yang sama tempat gw ujian sidang disertasi. Tiap kali gw mengingat momen ini, gw selalu terharu, karena musik telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidup gw. Meskipun gw nggak pernah berniat mengambil pendidikan formal dalam bidang musik, atau menjadikan musik sebagai mata pencaharian, gw tahu bahwa kecintaan gw pada musik paduan suara menjadi alasan yang cukup untuk gw meluangkan waktu ekstra di luar pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Dalam untaian kata Paul McCartney:

I love to hear a choir. I love the humanity to see the faces of real people devoting themselves to a piece of music. I like the teamwork. It makes me feel optimistic about the human race when I see them cooperating like that.

-Paul McCartney

Nah, silakan sebarkan kabar gembira ini: nyanyi di paduan suara yuuuuuuuu.

Resital Vokal dan Kendali Mutu

“Kalo nyanyi keroyokan di paduan suara kayak gitu, lu nggak perlu punya suara bagus-bagus amat dong. Kan keroyokan…”

Kira-kira begitulah seorang kenalan gw waktu kuliah sarjana dulu pernah berkomentar mengenai paduan suara. Terdengar dangkal dan agak melecehkan, mungkin. Tapi kalau dipikir, komentar ini mau tidak mau membuat gw duduk sejenak dan berpikir: sejauh apa kita dituntut untuk bisa bernyanyi sebagai seorang penyanyi paduan suara? Atau mungkin lebih tepatnya, setinggi apa ekspektasi paduan suara tentang kualitas individual setiap penyanyinya?

Setiap paduan suara mungkin memiliki ekspektasi yang berbeda-beda dalam hal kualitas individual penyanyinya. Hal ini semata-mata disebabkan oleh sumberdaya yang tersedia, kemampuan musikal para penyanyi (dan juga pengaba), dan tujuan pendirian serta sasaran audiens paduan suara. Kategorisasi amatir dan profesional juga secara otomatis memetakan ekspektasi tersebut ke dalam semacam spektrum. Ada paduan suara yang sangat teliti dalam mengaudisi dan menyeleksi penyanyinya, ada juga yang cukup bergembira-ambil-hikmahnya dengan apa yang ada dan mencoba membangun kualitas nyaris dari titik nadir. Di antara kedua ekstrem tersebut, paduan suara mana pun boleh menentukan sendiri tingkat kualitas yang mereka ingin capai. Hanya saja, kualitas dalam musik adalah sesuatu yang kadang abstrak dan subjektif, sehingga kita kadang suka bingung sendiri di mana paduan suara yang kita geluti sekarang berada dalam spektrum tersebut. Namun, satu hal rasanya dapat dipastikan, bahwa setiap paduan suara ingin terus menjadi lebih baik. Bukankah begitu, Bu Dewi? ^-^

Spektrum kualitas

Dalam kurun waktu 2004 hingga 2009 dulu, ketika gw mulai merambah dunia musik di Jakarta dan sekitarnya, gw mengamati beberapa paduan suara independen (biasanya tidak terikat dengan institusi tertentu, macam gereja atau lembaga pendidikan) yang pada suatu hari didirikan, kemudian menggelar satu atau dua konser, atau mengikuti sebuah kompetisi, kemudian tidak terdengar lagi keberadaannya. Tentunya sah-sah saja untuk mengambil inisiatif mendirikan sebuah paduan suara, entah itu untuk sekedar mengumpulkan orang-orang yang sama-sama memiliki hobi bernyanyi atau serius ingin membentuk sebuah paduan suara yang layak konser. Pun tidak ada yang melarang kalau ada yang mengambil inisiatif mendirikan sebuah paduan suara sekadar untuk mencoba peruntungan dalam sebuah kompetisi (dengan catatan kaki: kalau menang paduan suara jalan terus, kalau nggak yo wis bubar jalan). Dunia musik selalu dengan tangan terbuka menyambut suara baru, genre musik baru, produksi musikal baru, wajah-wajah imut dan menggemaskan baru, dan seterusnya. Tapi lantas kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah paduan suara dibentuk untuk lestari selama mungkin, ataukah hanya untuk semusim belaka? Semacam pertanyaan klisé long term relationship atau no strings attached? Bagaimana kita memastikan bahwa paduan suara yang kita miliki bertahan lama dan tetap merangkul audiens dari konser ke konser? Bagaimana caranya kita menjaga mutu paduan suara kita?

Dalam lema kali ini gw akan mencoba melempar satu atau dua gagasan mengenai kendali mutu dalam paduan suara.

Resital vokal dalam dunia musik klasik sudah lama dikenal dan dipraktikkan oleh para penyanyi, baik yang sudah berstatus profesional maupun yang masih mengikuti pendidikan. Batasan sederhana resital vokal adalah penampilan vokal solo, duo, atau hingga ansambel vokal kecil, biasanya diiringi satu atau dua instrumentalis. Pada dasarnya resital vokal adalah juga konser, tapi biasanya resital vokal merupakan produksi musikal berskala kecil yang sering diprakarsai oleh sang penyanyi sendiri sebagai penampil utama. Resital vokal adalah “momen sang penyanyi” untuk menunjukkan pada khalayak musik sejauh mana kemampuan dan apresiasi vokalnya berkembang dari waktu ke waktu. Makanya gw harus menggarisbawahi kata “secara teratur” karena inti dari penyelenggaraan resital vokal adalah kendali mutu, selain juga tentunya perayaan atas pembelajaran musikal yang dialami oleh sang penyanyi sejauh ini.

Nah, apakah resital vokal ini juga penting (dan berguna) diterapkan dalam sebuah paduan suara? Ya.

Komentar yang bilang kalo di paduan suara kita nggak perlu bagus-bagus amat nyanyi mungkin sedikit banyak membuat kita harus menata ulang sistem latihan dan program paduan suara kita setahun ke depan, misalnya. Konser tahunan gw rasa memang sudah jadi hajatan tetap banyak sekali paduan suara. Kalau kita tengok grup paduan suara di Facebook, kadang dalam seminggu ada lebih dari satu “annual concert” inilah, “newcomers in concert” itulah. Kita sebagai konsumen musik lalu harus memilih mau nonton konser yang mana. Pertanyaannya, apakan konser tahunan saja cukup?

Konser tahunan sejatinya diselenggarakan dengan tujuan menampilkan sebuah produksi musikal untuk publik, audiens, fans sebuah paduan suara. Sedikit-sedikit boleh lah ada pemasukan dari penjualan tiket konser, tapi utamanya sebuah konser tahunan dipersembahkan untuk dunia musik secara luas. Resital vokal, di pihak lain, ditujukan utamanya untuk kalangan sendiri. Karena skalanya yang lebih kecil dari konser, seperti gw sebut di atas, resital vokal lebih bersifat intim dan tidak terlalu formal. Tetapi ini sama sekali tidak mengurangi nilai pentingnya sebagai strategi kendali mutu paduan suara, tentunya.

Dengan menetapkan standar kualitas tinggi (alih-alih sekadar “nyanyi keroyokan, senang-senang, sudah makan pulang”), gw pikir sebaiknya paduan suara tidak hanya mengandalkan konser tahunan. Resital vokal juga sebaiknya diadakan, paling tidak setahun sekali.

Kalau ada 100 orang anggota penyanyi, apa nggak kebanyakan tuh resital satu-satu, Bang Jali?

Seting penyanyi dalam resital

Yang ini mungkin lebih bersifat teknis. Paduan suara bisa mengatur sebuah resital sedemikian hingga semua penyanyi kebagian tampil tanpa harus menunggu giliran semalaman. Caranya, buat kombinasi penampilan. Yang cukup berani dan percaya diri tampil solo boleh tampil solo. Mungkin dibatasi hingga beberapa orang saja. Sisanya, ada yang tampil duet, trio, kuartet, atau hingga ansambel vokal kecil. Yang penting adalah, semua penyanyi beroleh kesempatan untuk uji kemampuan bernyanyi dalam seting kecil.

Resital vokal, sekali lagi, adalah ajang uji kemampuan sekaligus perayaan. Semua penyanyi memiliki kesempatan yang setara untuk boleh sejenak menjadi diva dan/atau divo. Ekspektasi untuk tampil dalam resital berbeda dari konser pada umumnya. Hal ini lebih dikarenakan dalam resital, kita nggak nyanyi keroyokan, seperti kata temen gw yang nyebelin itu. Meskipun setiap penyanyi mungkin hanya kebagian menampilkan satu lagu, tapi mereka akan bekerja ekstra keras untuk bisa menampilkan yang terbaik, karena resital adalah “momen mereka”. Audiens mungkin akan mendengarkan suara mereka untuk pertama kalinya.

Nah, selamat berlatih menjadi diva/o ^^

 

Prima Vista

Seorang pemusik, apa pun instrumen yang ia mainkan, biasanya dituntut untuk memiliki kemampuan prima vista, atau sight-reading. Dalam kasus kita sebagai penyanyi, prima vista juga diterjemahkan sebagai sight-singing. Gw belum berhasil menemukan padanan kata ini dalam bahasa Indonesia, jadi, sementara kita pakai istilah Italianya saja kali ya, prima vista, yang secara harfiah berarti ‘pandangan pertama’ (begitu menggoda? xixixi).

Tunggu!

Apaan sih prima vista? Pandangan pas ngeliat konduktor untuk pertama kalinya? Atau pandangan pertama dari orang yang naksir kita di paduan suara? Nah lho!

Baiklah, mari kita perjelas batasan prima vista, utamanya dalam berpaduan suara.

Definisi prima vista yang sederhana nggak perlu jauh-jauh kita cari. Coba aja cek Wikipedia. Prima vista berarti membaca dan memainkan (atau menyanyikan) sebuah karya musik yang tertulis, terutama ketika pemusik atau penyanyi belum pernah melihat partitur musik tersebut sebelumnya.

Seberapa pentingkah kemampuan prima vista?

Menjawab pertanyaan ini, gw jadi inget lema blog yang gw tulis di blog gw yang lain, yang gw tulis sekitar tahun 2004. Di lema tersebut gw mengumpulkan beberapa tips dari pelatih dan pengaba paduan suara bagaimana bernyanyi dengan baik. Salah satunya, dari Brian Ohnsorg, seorang pelatih paduan suara dari Negeri Paman Sam. Kata Ohnsorg:

Menjadi seorang sight-reader yang baik akan memungkinkan siapa pun untuk belajar musik lebih cepat, terdepan dalam latihan, dan membantu dalam berkonsentrasi pada kualitas vokal. Prima vista, seperti otot, hanya semakin kuat dengan pengulangan. Tidak peduli apa yang kamu nyanyikan. Baik itu sebuah himne, buku latihan membaca not, atau secarik partitur musik yang tergeletak di ruang paduan suara. Sebagai permulaan, coba ambil sebuah karya musik, temukan pitch awal kamu, kemudian bernyanyilah sambil selalu awas dengan “rambu-rambu” musik pada partitur yang kamu pegang. Jangan berhenti! Kalaupun ada salah, hajar saja dulu. Selama kamu terus berusaha memperbaiki kesalahan, lambat laun kamu akan menjadi lebih fasih dalam bahasa musik. Kita tidak dilahirkan dengan kemampuan prima vista. Ini adalah keterampilan yang dipelajari. Kadang butuh bertahun-tahun, tapi kalau kamu terus berusaha, kamu pasti bisa.

– Brian Ohnsorg

Terus gimana dong? Gw nggak bisa. Gw nggak pernah belajar teori musik. Bagaimana mungkin, membaca aja aku sulit? Terus, terus, do mi sol do aja gw fals?

Nah, kan tujuan gw nulis ini blog buat berbagi sedikit nektar ilmu pengetahuan dan madu pengalaman bermusik. Jadi, dengan penuh kesenangan hati, gw ingin berbagi sebuah buku untuk latihan bernyanyi prima vista buat kalian. Judulnya “Eyes and Ears: an Anthology of Melodies for Sight-Singing” karya Benjamin Crowell, yang sejatinya adalah seorang fisikawan. Buku ini gw unduh gratis dari Art Song Central, jadi nggak ada masalah hak cipta di sini. Teman-teman silakan unduh buku tersebut di sini.

Perhatian perhatian! Not balok ya boooo, bukan not angka.

Gw akan harus menulis lema tersendiri mengenai dilema not balok-not angka ini. Nanti deh. Tapi sementara gw dengan agak sungkan harus berkata bahwa sebaiknya semua penyanyi, baik solo maupun paduan suara, hanya menggunakan partitur dengan not balok. Hal ini amat sangat krusial untuk banyak alasan. Di antaranya adalah visualisasi melodi dan harmoni dalam not balok jauh lebih kuat daripada not angka. Kita dengan mudah bisa melihat apakah interval dari sebuah nada ke nada berikutnya naik atau turun pada partitur not balok. Kita juga bisa dengan mudah memindai setinggi apa kira-kira sebuah nada atau keseluruhan lagu dengan melihat posisi not pada garis paranada. Pada partitur not angka, ini nyaris mustahil. Selain itu, fenomena partitur dengan angka-angka di dalamnya sejauh pengetahuan gw hanya terjadi di Indonesia. Gw belum membaca secara menyeluruh apa sejarah di balik fenomena ini, dan mengapa ini cukup kuat berakar dalam musik (paduan suara) di tanah air. Tapi gw bisa meyakinkan teman-teman semua kalau belajar prima vista dengan not balok itu bisa kok. Cuman ya itu, seperti Ohnsorg bilang, butuh kesabaran, ketelitian, dan pengulangan. Setelah lebih dari 4 tahun berpaduan suara, gw juga baru bisa kok. Itu juga kalo udah komposisi musik atonal macam “Nonsense Madrigal” (Ligeti) atau “Situaties” (de Ruiter) mah, gw juga harus mengadu pada piano.

Nah, apa pun musik yang akan kalian pelajari pada latihan berikutnya, dengan bekal kemampuan prima vista yang cukup, proses latihan pasti akan berjalan lebih lancar, efektif, dan efisien. Konduktor juga biasanya paling senang dengan paduan suara yang bisa langsung ‘membunyikan’ melodi dan harmoni sebuah lagu baru. Apalagi kalau paduan suara berkesempatan mempremiérkan sebuah komposisi. Wah, itu akan sangat menantang.

Selamat berlatih!

Kalo bisa prima vista yang ini, berarti kalian jago 😛

Modus Novus????

Membangun Vox Humana

Lema blog kali ini rasanya relevan buat mereka yang sedang belajar vokal, baik untuk nyanyi solo maupun paduan suara. Kita akan membahas sedikit mengenai suara manusia alias vox humana.

Sekitar tahun 2001 hingga 2002 gw sempet les vokal sama Mbak Ingrid Maryane Cahya, yang sekarang aktif menjadi bagian dari Konservatorium Musik Jakarta. Waktu itu di Bogor, dengan pengalaman nyanyi yang pas-pasan dan saku mahasiswa yang juga sangat terbatas, gw menyambut dengan penuh antusiasme tawaran Mbak Ingrid untuk belajar vokal. AgriaSwara saat itu berada dalam fasa transisi dari format paduan suara lagu-lagu kebangsaan ke paduan suara yang juga membawakan lagu-lagu klasik. Publik kayaknya nggak banyak yang mengenal nama AgriaSwara. Mereka biasanya bertanya, “Oh, di IPB ada paduan suara yah?” atau “Itu siapanya Mega Suara (radio dangdut di Bogor)?” GUBRAK!

Nah, gw nggak bisa nyalahin siapa-siapa dong. Orang pada dasarnya emang kita tuh dulu belum berorientasi keluar. Boro-boro ke luar negeri, ke luar Bogor aja baru sekali-sekali kalau ada Temu Alumni IPB di Jakarta atau Festival Paduan Suara ITB di Bandung. Repertoar juga masih terbatas pada musik patriotik yang ditulis dengan not angka, atau aransemen sederhana musik rakyat Indonesia. Johannes Brahms? Ah, siapa pula itu?

Ingrid came to the rescue. Sebagai seorang alumni IPB yang bertahun-tahun mendalami piano dan belakangan juga ilmu vokal, Ingrid memiliki kualifikasi yang sangat menjanjikan untuk memperkenalkan dunia musik paduan suara yang lebih luas. Gw inget setiap minggu gw dengan penuh semangat ngeles di tempat kos Ingrid di Jalan Riau, Bogor. Kemudian suatu waktu dia juga memberi kesempatan master class musik kamar oleh Martyn van den Hoek, seorang pianis Belanda. Ingrid di piano, gw nyanyi “O Divine Redeemer” (Gounod), “Busslied” (Beethoven), dan sebuah lagu pendek dari Bach. Dengan Ingrid, gw juga sempat sama-sama menulis musik bertema ‘pertanian’  untuk sebuah lomba komposisi lagu. Kita menang. Juara 1. Pada babak final, gw menyanyikan sendiri lagu berjudul “Elegi Petaniku” itu. Kelak, ketika gw juga menyanyikan lagu itu di depan para sponsor beasiswa gw, mereka semua terenyuh oleh kedalaman teks lagu yang kurang lebih menggambarkan pahit getirnya hidup para petani. Selamanya, lagu itu akan selalu mengingatkan gw pada Bapak, yang hingga usianya sekarang juga masih bertani.

Begitulah, proses awal gw membangun organ vokal dan berkenalan dengan repertoar musik klasik. Segala pencapaian gw dalam musik paduan suara adalah sebagian berkat campur tangan Ingrid. Matur nuwun, Mbak. 

Kembali ke laptop. Eh… topik. 😛

Jadi selama proses awal belajar vokal tersebut, gw mulai rajin mengumpulkan referensi tentang musik vokal dan paduan suara. Tersebutlah kemudian, artikel yang gw sarikan dari beberapa sumber berikut:

Vox Humana

Suara manusia adalah instrumen musik yang paling awal dikenal dan digunakan.

Bagaimana Suara Bekerja?

  • Suara manusia adalah suatu entitas yang sangat misterius karena tidak dapat langsung terlihat ketika digunakan. Adalah juga tidak mungkin ‘mendengarkan’ suara kita sendiri seperti orang lain mendengarkannya.
  • Suara merupakan sebuah fenomena yang rumit. Untuk mempelajarinya, kita menyederhanakan suara ke dalam komponen dasar.

Pertanyaannya kemudian:

Apa yang membangun suara manusia?
Apa saja variabel yang digunakan?
Bagaimana penyanyi dapat memanipulasi variabel dan komponen fisik tersebut untuk memperoleh kualitas vokal yang sehat, bebas, dan menyenangkan?

Mari kita coba selidiki ^^.

Faktor yang membangun suara manusia sejatinya sederhana saja:

  • Otot
  • Udara
  • Ruang
  • Ketiga komponen ini berinteraksi menghasilkan suara vokal unikmu.

Seorang guru vokal yang baik dan berkompeten harus bisa mengembangkan ketiga komponen ini melalui berbagai latihan dan konsep.

Otot

Bagian otot dari suara adalah pita suara, yang berwujud pasangan otot kecil di dalam tenggorokan. Pita suara diselubungi lapisan lendir yang berwujud seperti jeli. Otot kecil lain di dalam laring mengendalikan ruang di antara pita dan panjang-pendeknya pita. Pita suara harus diperlakukan dengan benar agar suara yang dihasilkan terdengar indah. Ketika pita suara berada dalam kondisi yang baik DAN diperlakukan dengan baik, aliran udara akan membuatnya bergetar melalui lapisan lendir yang menyelubunginya. Jika kita kurang minum atau mengkonsumsi produk yang menyebabkan dehidrasi, lendir menjadi sangat kental dan kering dan kita tidak akan bernyanyi dengan baik.

Saran cerdas: DELAPAN (8) gelas air putih atau teh herbal yang TIDAK mengandung kafein.

Udara

Suara juga terdiri atas udara. Udara adalah sumber energi yang kita kendalikan pada setiap napas yang diambil ketika bernyanyi. Udara membuat pita suara tetap bervibrasi dan berosilasi (bergetar dan bergelombang) melalui selubung lendir. Bernyanyi tanpa pasokan udara yang sehat sama seperti mencoba mengendarai kendaraan tanpa bensin! Napas adalah bahan bakar kita dan karenanya sangat penting.

Ruang

Ruang? Hmm… kok bisa? Begini penjelasannya. Ketika kita memainkan suatu instrumen musik (dan ya, bahkan pembicaraan yang baik dapat terdengar musikal), instrumen itu sudah terlebih dahulu dibangun. Kita hanya belajar memainkannya. Suara manusia UNIK dalam hal instrumen ini dibangun ketika dimainkan.

Bentuk atau ruang instrumen suara diciptakan oleh ukuran tenggorokan. Ini ditentukan oleh bagaimana kita mengambil napas dan kemampuan untuk membuat rileks otot yang menutup tenggorokan, salah satunya lidah. Bentuk suara adalah yang membuat suara menjadi misterius, karena tidak dapat dilihat, hanya dapat didengar. Ketika tenggorokan kita dibuat lebih kecil oleh kelompok otot yang ‘salah’, laring menjadi naik dan suara terasa tegang dan tertekan. Kelompok otot yang ‘salah’ yang dimaksud adalah otot untuk menelan (yang membuat gerakan peristaltik ketika makan). Jika otot ini menutup tenggorokan, suara yang dihasilkan sama sekali tidak bagus. Mungkin akan terasa dan terdengar baik-baik saja untuk penyanyinya, tapi suara itu tidak akan beresonansi ke orang lain yang mendengarkan.

Jadi, tujuan seorang vokalis adalah untuk membuka tenggorakan (seperti ketika menguap) sambil membuat rileks lidah.

Apa Saja Variabel yang Digunakan?

Ingat NaReVoSuKuvo:

  • Nada
  • Register kepala dan register dada
  • Volume
  • Suara (vokal dan konsonan)
  • Kualitas vokal (meleher, cempreng, mendesah, atau efisien)

Les vokal akan membantu kita menyadari kualifikasi ini dan bagaimana menyeimbangkan dan memanipulasinya dalam suara kita.

Ayo kita ulangi ‘Titik Kunci’ penting tentang suara:

Tujuan les vokal adalah untuk menggunakan suara kita secara bebas melalui jangkauan nada yang dimiliki (biasanya 3 oktaf) dengan kendali penuh atas otot laring yang mengatur register kepala dan dada, pengunaan udara dan olahnapas, untuk menghasilkan produksi vokal pada berbagai volume. Untuk mencapainya, kita menciptakan ruang dalam tenggorokan, untuk menghasilkan suara yang sehat dan dengan pasokan udara teratur dan relaksasi otot tenggorokan.

Satu hal yang harus diingat adalah bahwa belajar menyanyi adalah proses bertahap. Kita ‘mengajari’ organ vokal kita ‘trik-trik’ atau cara-cara baru merespon. Prosesnya akan menjadi otomatis, tapi akan memerlukan latihan HARIAN dan acapkali selama beberapa tahun, bergantung pada kemampuan siswa. Biasanya, kamu akan dapat menghasilkan perubahan yang sehat selama les vokal. Secara bertahap peningkatan ini akan dibawa ke latihan di rumah. Tahap berikutnya adalah membiasakan diri dengan cara baru menggunakan otot vokal dan pernapasan (sambil membuat rileks otot konstriktor). Kunci sukses belajar bernyanyi adalah: latihan, dedikasi dan komunikasi yang baik dengan vocal coach yang diberi kepercayaan. Belajar vokal adalah suatu perjalanan yang mengagumkan tentang tumbuh-kembang diri, eksplorasi, dan kemungkinan-kemungkinan yang hebat.

Semoga menginspirasi.

And for a pinch of extra inspiration:

Opera Student