Gubahan Bach yang Paling Dicintai

Suatu waktu di tahun 2012 silam gw diajak nonton konser di Grote Kerk, Naarden, sekitar 20 menit berkendara dari Amsterdam. Naarden adalah sebuah kotamadya “benteng bintang”. Disebut begitu karena kotamadya ini secara harfiah dikelilingi benteng yang kalau dilihat dari udara berbentuk seperti bintang.

Citra udara Naarden, dengan menara Grote Kerk menjulang di pusatnya, dan Danau Ijssel pada latar belakang.

Setiap tahun di bulan Maret, ketika musim semi mengetuk perlahan, gereja agung di Naarden menjadi tuan rumah sebuah pergelaran mahakarya musik yang paling dicintai di Negeri Kumpeni. Setiap tahun di bulan Maret, para tokoh politik kenamaan, termasuk sang Perdana Menteri, pesohor dan penyair, penguasa dan pengusaha, atau orang biasa, berkumpul di Naarden untuk mengapresiasi gubahan sakral yang paling sering dikonserkan di sini: Matthäus Passion karya Johann Sebastian Bach.

Begitu populernya Matthäus Passion di Belanda, tahun ini ada lebih dari 100 konser digelar di seluruh pelosok negeri, oleh orkestra dan paduan suara amatir maupun profesional. Kadang mereka membuat versi singkat dari keseluruhan musik yang bisa berdurasi lebih dari 3 jam ini. Atau ada juga kursus singkat menyanyikan bagian chorale atau memainkan bagian solo cello pada aria tenor “Geduld, geduld” (Sabarlah, sabarlah). Atau yang minggu kemarin juga sempat gw alami, Meezing Matthäus (Nyanyi-Bareng Matthäus), di mana publik juga boleh ikut bernyanyi pada bagian-bagian tertentu. Apa pun bentuk produksi musikalnya, Matthäus Passion telah menjadi tradisi perayaan Paskah sejak sekitar tahun 1870-an. Konser di Grote Kerk Naarden ini misalnya, telah ditampilkan oleh Nederlandse Bachvereniging (Masyarakat Bach Belanda) setiap tahun sejak 90 tahun yang lalu.

Menurut Jacqueline Oskamp, dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh De Groene Amsterdammer 31 Maret 1999, salah satu alasan mengapa Matthäus Passion begitu terkenal di sini adalah Willem Mengelberg (1871-1951). Selama 45 tahun berturut-turut dalam kariernya sebagai pengaba, Mengelberg menggelar Matthäus Passion, setiap tahun tak pernah terlewatkan. Hanya ketika di tahun 1944 setelah Perang Dunia II, ketika ia dilarang menjadi dirigen, barulah Mengelberg terpaksa harus berhenti. Namun, tradisi tahunan Matthäus Passion diteruskan oleh pengaba-pengaba lainnya, hingga hari ini. Dari sudut-sudut katedral dan gedung konser, di kota maupun di desa, kita  bisa mendengarkan alunan indah suara mezzosopran atau kontratenor menyanyikan “Erbarme dich” (Kasihanilah), atau hentakan mengerikan dalam “Sind Blitze, sind Donner in Wolken verschwunden” (Petir dan halilintar lenyap ditelan awan).

Begitulah, setahun yang lalu untuk pertama kalinya gw menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat di sini, Katolik maupun Protestan, teis maupun ateis, dengan penuh apresiasi mengikuti prosesi konser yang penuh kompleksitas ini. Banyak di antara audiens membawa partitur mereka sendiri, yang seringnya sudah lecek saking seringnya dipakai. Sepanjang konser mereka mengikuti teks dan musik dalam partitur yang mereka bawa, atau buku program konser yang selalu menyertakan terjemahan teks Jerman dalam bahasa Belanda. Banyak di antara mereka yang tak kuasa menitikkan air mata, terutama pada bagian ketika Kristus disalibkan dan wafat, atau mungkin hanya karena terenyuh dengan keindahan musik dan suasana wingit yang tercipta sepanjang konser.

Begitu dramatis pengalaman tersebut berbekas dalam psike gw, hingga gw memutuskan untuk mencari paduan suara yang memang secara teratur menggelar gubahan Bach paling dicintai ini. Tahun ini, dengan penuh semangat dan kecintaan pada musik, akhirnya gw ambil bagian dalam produksi Matthäus Passion dengan Combattimento Consort (Jan Willem de Vriend), Toonkunstkoor Amsterdam (Boudewijn Jansen), Roder Boys Choir (Rintje Albert te Wies), dan solis-solis fantastis macam Andreas Weller sebagai Evangelis, Michael Kraus sebagai Yesus, soprano Claron McFadden dan Lenneke Ruiten, mezzosoprano Cécile van de Sant dan Barbara Kozelj, tenor Thomas Michael Allen, dan bariton Maarten Koningsberger. Lima konser di lima tempat: satu konser nyanyi-bareng di Concertgebouw Amsterdam, dua konser di Muziekgebouw aan ‘t Ij Amsterdam dan Philharmonie Haarlem, satu konser yang melibatkan ratusan anak-anak sekolah dasar, dan satu konser tahunan monumental tepat pada hari Jumat Agung di Concertgebouw … nanti malam.

Tahun ini gw satu repertoar Bach lebih kaya ^^. Untuk yang belum pernah mengalami sendiri keajaiban musik Bach paling dicintai yang gw bahas di sini, silakan nikmati interpretasi Philipp Herreweghe yang dinilai banyak kritisi musik sebagai salah satu yang terbaik.

Semoga menginspirasi.

Konser HVE “Ein rein Herz”

HVE Spring Concert 2013

HVE Spring Concert 2013

Sekitar dua bulan setelah lulus audisi menjadi penyanyi sebuah ansambel vokal yang berbasis di Amsterdam, Hollands Vocaal Ensemble (HVE), gw ngamen lagi setelah sekitar setahun absen dari bidikan lampu sorot. Tepat setahun silam gw ngamen keliling Negeri Kumpeni bersama Nederlands Studenten Kamerkoor (NSK), membawakan komposisi dan gubahan a cappella dari abad kekinian. Dua minggu, empat premiér, sepuluh konser, berakhir di Concertgebouw Amsterdam. Tepat setahun kemudian, gw dengan sumringah menampakkan diri lagi. Kali ini di Haarlem dan Amsterdam.

HVE membawakan komposisi a cappella dari komponis Jerman: Hugo Distler, Heinrich Schütz, Felix Mendelssohn, Anton Bruckner, dan Johannes Brahms. Nama-nama yang rasanya sama sekali tidak asing di telinga publik paduan suara di Indonesia. Kecuali mungkin Distler, yang relatif jarang terdengar dinyanyikan di tanah air. Distler adalah seorang komponis, organis, guru, dan pengaba paduan suara yang mati muda: bunuh diri pada usia 34 tahun, di tengah kengerian perang dunia dan kebingungan antara melayani Tuhan atau Nazi. Musik Distler yang sering berbentuk polifoni dan berdasarkan tangga nada pentatonis dianggap sebagai ‘seni yang bobrok’ oleh publik Jerman kala itu. Tetapi justru karena kekhasannya itulah komposisinya menjadi unik. HVE dengan bangga mempersembahkan dua komposisi Distler yang cukup menantang: “Singet dem Herrn ein neues Lied” dan “Fürwahr, er trug unsere Krankheit”.

Janskerk, Haarlem (photo: Rijksmonumenten)

Hari pertama HVE konser di Janskerk, Haarlem, yang dulunya adalah sebuah gereja yang dibangun sekitar awal tahun 1300an. Saat ini fungsinya diubah menjadi Gedung Arsip Provinsi Noord Holland. Begitu kayanya sejarah gedung ini, pemerintah provinsi tidak dengan semena-mena menyulap gereja menjadi gedung arsip begitu saja. Pada beberapa sudut dalam gedung, wajah asal gereja masih bisa kita telusuri, seperti dinding yang sebagian sengaja dibiarkan tanpa semen, seolah mengizinkan wajah tua nan keriput berusia 700 tahun itu ikut mengambil perhatian audiens konser.

Di hari kedua, HVE tampil di Waalse Kerk, Amsterdam, sebuah gereja di pusat kota yang dibangun pada awal abad ke-15. Menurut pengaba kami, gereja kecil ini memiliki salah satu akustik terbaik untuk konser paduan suara dan musik kamar. Itulah sebabnya, live recording dibuat untuk konser hari kedua.

Waalse Kerk, Amsterdam (photo: Reformatorisch Dagblad)

HVE membuka konser dengan motet untuk 8-suara “Mitten wir im Leben sind“, lagu ketiga dari Op.23-nya Felix Mendelssohn. Komposisi ini pertama banget gw denger dulu di Indonesia, dinyanyikan dengan baik oleh PSM Unpad pada salah satu kompetisi paduan suara di Bandung tahun 2002. Tahun 2005, gw berkesempatan menyanyikan komposisi ini dengan National Youth Choir Indonesia. Tapi sayang, Ivan Yohan sang pengaba belakangan memutuskan untuk tidak memasukkan lagu ini ke dalam repertoar konser.

Siapa nyana, tahun 2012 akhirnya gw sempat juga mengapresiasi motet yang penuh kekuatan emosi dan ketelitian musikal ini. Menurut Julian Haylock, motet ini memiliki karakter Bach yang sangat kuat. Tiga ayat yang menjadi tubuh utama lagu selalu diakhiri dengan “Kyrie eleison” dan ditandai dengan tekstur yang bertentangan, antara chorale yang khidmat dan vivace kontrapuntal.

Sebagai rujukan, berikut pranala YouTube St John’s College Choir, Cambridge, membawakan lagu ini.

Dalam komposisi 8 suara divisi, gw biasanya menyanyikan Tenor 1. Tapi, seperti biasanya, gw selalu kedapatan tugas tambahan. Salah satu Tenor 2 tiba-tiba mengundurkan diri dari konser beberapa hari sebelum hari-H. Alhasil, Fokko Oldenhuis sang pengaba meminta gw untuk belajar cepat semua bagian Tenor 2. Yah… gw lagi, gw lagi. Tapi demi keseimbangan suara, gw jabani juga. “Kyyyyrieeee eleisoooon…”

Kemudian HVE merangkai kata terakhir ‘eleison’ pada lagu pembuka dengan salah satu motet Johannes Brahms yang paling indah: “Schaffe in mir Gott, ein rein Herz“, yang juga menjadi judul konser kali ini. Hati yang Bersih. Brahms menulis motet ini berdasarkan teks Mazmur 51. Banyak kritisi musik menilai motet-motet Brahms layak disandingkan dengan motetnya Bach. Nomor kedua dari Op. 29-nya Brahms ini misalnya, mengingatkan kita pada motet “Singet dem Herren ein neues Lied” (Johann Sebastian Bach).

Sebagai rujukan, coba buka Spotify kalian dan dengarkan Norddeutscher Figuralchor membawakan motet Brahms dan Kammerchor Stuttgart membawakan motet Bach yang gw sebutkan di atas.

Selepas Brahms, HVE menyajikan musik Distler yang unik itu, dimulai dengan “Fürwahr, er trug unsere Krankheit” (Dan sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggung-Nya). Motet yang teksnya diambil dari Yesaya 53:4-5 ini adalah komposisi terakhir yang ditulis Distler sebelum dia bunuh diri setahun kemudian. Sepanjang lagu ada banyak sekali bunyi disonan dan harmoni kromatik yang cenderung terdengar putus harapan. Musik Distler yang terdengar sedih dan muram ini memang tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu di mana dan ketika komposisi ini ditulis, yaitu ketika Nazi di Jerman semakin mengukuhkan cakar-cakar fasismenya di Jerman dan Eropa. Untuk gambaran, silakan dengar Monteverdi Chor München membawakan motet ini di Spotify.

Alur waktu kemudian sejenak mundur beberapa abad. Giliran komposisi sakralnya Heinrich Schütz, yang dipandang sebagai komponis Jerman paling penting sebelum Bach. Sebagai murid Gabrieli dan pengagum Monteverdi, dia memperkenalkan gagasan musikal baru dari Italia ke dunia musik di Jerman.

HVE bernyanyi dalam seting yang berbeda untuk motet-motet dari zaman Barok ini. Sekitar 30 orang penyanyi dalam ansambel vokal ini dibagi dua. Setengahnya menyanyikan motet “Die Himmel erzählen die Ehre Gottes”, kemudian Claudia Rolando, salah satu soprano kami yang berasal dari Argentina dan sekarang tengah menempuh PhD di Belanda dalam bidang pembelajaran nyanyi klasik membawakan dua motet untuk solo “O misericordissime Jesu” dan “O Jesu nomen dulce” diiringi konduktor Fokko memainkan klavisimbel. Pada saat gw menulis lema blog ini, Claudia sedang berada di Paris dalam tur konsernya keliling Eropa membawakan musik klasik Argentina. Setelah dua lagu solo tersebut, separuh penyanyi yang lain, termasuk gw, membawakan “Unser Wandel ist im Himmel”. Seperti biasa, gw selalu menikmati bernyanyi dalam seting kecil seperti ini. Kami bernyanyi seperti penyanyi madrigal, setengah melingkar dan campur aduk: penyanyi kiri-kanan harus dari suara lain. Gw seneng banget bisa nyanyiin Schütz lagi, setelah terakhir tahun 2009 bawain satu atau dua karyanya yang lain dengan Batavia Madrigal Singers.

Di YouTube bisa kalian dengarkan Collegium Vocale Gent (Philippe Herreweghe) yang spektakuler itu membawakan motet Schütz yang pertama:

dan kedua:

Selepas motet dari zaman Barok, HVE mempersembahkan komposisi lain dari Distler, “Singet dem Herrn ein neues Lied”. Motet yang terdiri atas tiga bagian ini diawali dengan bagian unisono yang dinyanyikan oleh para pria, yang terdengar cenderung resitatif. Badan lagu mengandung banyak sekali pergantian ritmus dan modalitas, sangat energik dan penuh fantasi. Coba lihat pranala YouTube berikut dari Calmus Ensemble Leipzig.

Kemudian konser diakhiri dengan salah satu motet Mendelssohn yang sangat terkenal itu: “Mein Gott, warum hasst du mich verlassen”. Motet ini merupakan nomor terakhir dari Op. 78 Tiga Mazmur untuk Paduan Suara Ganda, dan karya terpanjang di antara ketiga motet dalam opus ini. Mendelssohn menyelesaikan komposisi ini pada tahun 1844, dan dikomisi oleh Berliner Domchor. Di Inggris, motet ini sangat sering dibawakan sebagai repertoar konser. Bagian awal yang mengedepankan efek dramatis pergantian melodi solo tenor dengan harmoni paduan suara menjadi kekuatan motet ini. Kemudian ketika teks memasuki “Ich bin ausgeschüttet wie wasser”, kentara bahwa bentuk dan tekstur lagu berubah dan baru, dengan bersandingnya solokuartet dengan paduan suara. Rendisi HVE untuk motet ini menurut sang pengaba sih sangat meyakinkan. Nah, gw jadi penasaran nunggu hasil rekaman penampilan kami dalam konser ini.

Sebagai tanda cinta gw buat kalian, 😛 silakan nikmati Estonian Philharmonic Chamber Choir (Daniel Reuss) membawakan Op. 78 Nr. 3 mahakarya Mendelssohn ini.

Partitur: Provisi, Legalitas, dan Hak Cipta

Organ Vokal

Kalau kita ditanya apa yang paling berharga buat seorang penyanyi paduan suara, mungkin kita akan menjawab, tentunya organ vokal. Itu adalah kapital terbesar kita sebagai seorang penyanyi. Segala cara, segala daya dan upaya kita lakukan untuk membentuk, membangun, dan menjaga organ vokal kita. Kita ingin organ vokal kita juga tetap sehat, dengan hanya bernyanyi menurut teknik vokal yang sehat. Dulu gw nggak ngerti apa maksud dari pernyataan ‘bernyanyi dengan sehat’. Bernyanyi sambil makan buah-buahan gitu? Atau sambil olahraga? Belakangan gw mulai memahami bahwa teknik vokal yang sehat adalah cara bernyanyi yang sebenarnya sederhana: tidak merusak organ vokal. Apakah kemudian teknik tersebut membuat kita terdengar seperti Joan Sutherland atau malah terdengar seperti Miley Cyrus, itu bisa diperdebatkan. Tapi yang jelas, kalau kita bernyanyi dengan sehat, maka kita bisa tetap bernyanyi dengan kualitas vokal yang sama atau bertahap membaik untuk puluhan tahun ke depan. Coba lihat Edita Gruberova, seorang soprano asal Slovakia yang hingga usianya yang 66 tahun sekarang masih bernyanyi dengan indah. Lalu coba bandingkan dengan beberapa penyanyi pop yang kualitas vokalnya memudar ketika mereka mulai memasuki usia 40-50 tahun.

Lalu apa lagi dong, yang paling berharga buat seorang penyanyi paduan suara?

Buat gw, partitur adalah harta paling berharga setelah organ vokal. Mengapa? Karena dengan medium itulah gw menjelajahi segala kemungkinan dalam bermusik. Pada partiturlah segala rambu-rambu musik, ekspektasi komponis, dan proses kreatif bermusik tercetak. Kita mungkin bisa saja belajar sebuah komposisi sepenuhnya dari mendengarkan dan meniru apa yang kita dengarkan. Tapi coba bayangkan kalau sebuah paduan suara harus belajar motet “Spem in alium” (Thomas Tallis) yang ditulis untuk 8 paduan suara, masing-masing terdiri atas 5 suara. Sebuah motet untuk 40 suara! Nah lho, mungkin akan butuh waktu 40 tahun untuk bisa menyanyikan musik seekspansif itu.

Setiap kali gw dapet partitur baru, pasti itu partitur gw sayang-sayang. Apalagi kalo partiturnya berbentuk buku, macam kompilasi “Madrigals” (Claudio Monteverdi) atau “Messa de Requiem” (Giuseppe Verdi) yang nangkring di rak buku gw. Segitu sayangnya gw sama partitur, kadang-kadang gw kasi sampul. Partitur harus kita jaga dengan baik karena dua alasan:

  1. Selalu ada kemungkinan kita menyanyikan sebuah komposisi lebih dari satu kali. Mungkin dengan paduan suara yang sama, atau mungkin dengan paduan suara lain. Buku partitur “Matthäuspassion” (Johann Sebastian Bach) misalnya, gw jaga dengan baik karena setiap tahun di bulan Maret gw akan menyanyikan karya monumental ini. Atau, siapa tahu, “Vinamintra Elitavi” (Thomas Jennefelt) yang gw nyanyikan tahun lalu dengan Nederlands Studenten Kamerkoor juga akan gw nyanyikan dengen Hollands Vocaal Ensemble.
  2. Partitur itu nggak murah, dan gw berbicara tentang partitur asli, yang biasanya gw beli sendiri di toko musik, atau dikoordinasi oleh seksi repertoar TKA.

Oh… partitur mesti beli yah?

Ada terlalu banyak paduan suara yang tidak memakai partitur asli dalam latihan. Biasanya seksi latihan membagikan fotokopian partitur lagu baru pada waktu latihan. Di Indonesia mungkin seringnya partitur not angka. Kadang-kadang mungkin fotokopi partitur yang dibagikan sebelumnya sudah difotokopi beberapa kali. Tulisannya sudah nggak jelas, nggak karu-karuan. Kadang mungkin sang seksi latihan yang malang tersebut mesti nulis ulang keseluruhan partitur atau transkripsi dari not balok ke not angka sebelum difotokopi. Atau belakangan ini pada sibuk tukar-menukar partitur lewat email atau Facebook. Apa pun prosesnya, biasanya penyanyi mendapatkan partitur secara cuma-cuma.

Kita lalu dihadapkan pada dilema para penyanyi dan pelatih paduan suara yang sering kita dengar, belakangan kemudian dikeluhkan para komponis dan penggubah: boleh nggak sih pake partitur fotokopian?

Kalau gw harus membahas masalah ini hanya dari sudut pandang hukum, jawabannya jelas dan ringkas: NGGAK BOLEH.

Tapi toh, ini terjadi juga. Bahkan ketika gw sibuk menulis lema blog ini, ada bejibun-jibun paduan suara di luar sana yang sedang memfotokopi partitur baru untuk latihan nanti malam, misalnya. Ini, harus diakui, juga sangat banyak terjadi di tanah air.

Terus gimana dong Bang Jali?

Nah, gw akan mencoba sebijak mungkin membahas persoalan ini.

Gw akan harus membuat pernyataan ini dulu:

Setiap penyanyi paduan suara seharusnya hanya menggunakan partitur asli yang diperoleh secara legal dari sebuah penerbit musik, toko partitur, situs di internet, atau langsung dari sang komponis.

Hendra Agustian (2013)

Seperti halnya dengan isu hak cipta lain dalam dunia musik, hal ini penting supaya para komponis paduan suara yang sudah bekerja keras pontang-panting menulis musik juga bisa terus menulis musik. Jika para komponis menerima upah dari usahanya menulis musik sebagaimana mestinya, maka proses kreatif mereka akan terus berjalan. Mungkin ada saja orang yang memang iseng menulis lagu lalu membagi-bagikan karyanya secara cuma-cuma, tapi untuk kebanyakan komponis profesional, ini adalah sumber mata pencaharian mereka. Seluruh pelaku paduan suara yang bijak seharusnya mengetahui hal ini.

factus

Apa yang terjadi kalau kerja keras para komponis ini tidak dihargai sebagaimana mestinya? Mereka akan berhenti menulis musik. Kalau mereka berhenti menulis musik, tidak ada lagi perkembangan baru dalam dunia paduan suara. Tidak ada premiér karya barunya Ronald Pohan, misalnya. Atau yang juga sekarang terjadi (dan sebenarnya sangat memalukan) adalah, seorang komponis Filipina, John Pamintuan, tidak mengizinkan pembelian partitur yang ia komposisi oleh siapa pun dari Indonesia. Ia berargumen bahwa ada terlalu banyak paduan suara di Indonesia yang telah memakai musiknya secara ilegal. Nah, kalau sudah begini kan repot.

Lalu bagaimana dong? Kita pengen tetep nyanyi paduan suara, tapi kita hanya memiliki dana yang terbatas?

BISA.

Ada banyak cara untuk melakukan hal ini. Yang paling mudah dan murah tentunya mengunduh langsung dari internet. Beberapa situs di internet memang dibuat sebagai open source. Coba kunjungi beberapa situs berikut. Kalau ada yang juga memiliki informasi lain, gw mengundang teman-teman semua untuk juga berbagi di sini.

  1. Petrucci Music Library
  2. ChoralWiki
  3. Choralnet
  4. Free Scores
  5. Hear Choirs
  6. Cipoo
  7. Werner Icking

Perlu diketahui, ada lebih dari cukup koleksi musik yang bisa kita nyanyikan dalam situs-situs gratis tersebut. Kalau memang dana untuk membeli partitur asli tidak ada, ya sudah, berkreasilah dengan yang gratis-gratis saja. Gw dulu suka iseng membuat semacam program konser hanya dengan memanfaatkan partitur gratis yang ada di CPDL. Kenapa nggak?

Cara lain, yang baru gw alami selama bergabung di Belanda sini, adalah dengan menyewa partitur. Ini juga legal. Di Belanda ada beberapa perpustakaan musik dan perpustakaan umum yang menyewakan partitur untuk paduan suara. Misalnya untuk program konser bulan Juni nanti, Hollands Vocaal Ensemble (HVE) menyewa partitur “Five Flower Songs” (Benjamin Britten) dari Bibliotheek KCZB di Voorschoten. Sementara itu, rupanya HVE memiliki sekitar 30 partitur asli “Songs of Ariel” (Frank Martin) yang dipinjamkan kepada penyanyi. Nah, ini dulu gw alami juga dengan BMS. Gw inget dulu gw dipinjami BMS partitur “Vem da je zopet” (Lojze Lebič). Begitu program konser selesai, partitur diserahkan kembali dalam keadaan masih bagus, bersih dari coretan.

Nah, menjadi masalah besar kemudian, ketika sebuah paduan suara keukeuh alias bersikeras ingin menggarap sebuah komposisi paduan suara karya seorang komponis (yang seringnya masih hidup), tapi tidak mau berinvestasi dalam partitur asli. Ini biasanya karena mereka latah “pengen bawain Whitacre”, misalnya. Atau karena paduan suara yang baru pulang kompetisi di luar negeri bawain sebuah komposisi baru dari Budi Susanto Yohanes. Lalu pada sibuk minta fotokopian partitur itu.

Menurut gw ini seharusnya tidak terjadi. Kita ingin para komponis, terutama yang masih mengawali karier mereka, terus berkarya. Kita ingin mereka mendapatkan kompensasi yang semestinya untuk apa yang telah mereka usahakan. Kreativitas dalam seni tidak ada batasnya, dan kita ingin mendengarkan karya baru dari para komponis, baik yang muda maupun yang sudah mapan. Kalau gw memperoleh kesempatan, gw akan dengan senang hati mempremiérkan sebuah komposisi Budi Susanto Yohanes, misalnya, di Belanda. Mengapa tidak? Publik paduan suara di sini rasanya masih rada awam dengan musik paduan suara dari Indonesia.

Demi kejayaan musik, mulai sekarang, mari kita lebih menghargai hak cipta dalam dunia paduan suara.

Memperkenalkan Diri, a la TKA

Lema blog yang ini sebagian besar dalam bahasa Belanda. Jadi ceritanya, setiap anggota baru Toonkunstkoor Amsterdam (TKA) diberi kesempatan untuk memperkenalkan diri dengan mengisi sebuah kuesioner. Kemudian kuesioner ini menjadi salah satu rubrik dari jurnal TKA “Tonika” yang terbit setiap 4 bulan sekali. Dengan cara ini, seluruh penyanyi TKA yang lebih dari 100an orang ini dapat dengan mudah mengenali anggota baru. Bukan hanya nama dan wajah, tapi juga beberapa hal penting, lucu, dan seru mengenai sang newbie. Gw sendiri berpikir kalau ini ide yang sangat baik. Kadang gw sendiri suka rada ribet dan sungkan harus mencoba berkenalan dengan anggota lain. Habis banyak banget! Jadi yang gw lakukan adalah, biasanya setiap latihan, gw mencoba berkenalan dengan satu saja anggota lain. Lagi-lagi, bukan cuma nama dan wajah, tapi kalau bisa juga hal-hal menarik mengenai orang tersebut: pekerjaan, asal dari mana, tinggal di mana, suka musik jazz atau tidak, dan sebagainya.

Nah, karena gw baru masuk Desember 2012 kemaren, kali ini giliran gw yang ditanyai. Kuesioner ini akan terbit akhir Maret nanti, bertepatan dengan konser Matthäuspassion. Jadi, TKA kali ini akan mendistribusikan “Tonika” juga pada audiens. Ngomong-ngomong, gw terkejut banget, karena tiket konser Matthäuspassion ini nyaris terjual seluruhnya, padahal ada 4 kali konser di Amsterdam dan Haarlem. Kalo udah gini gw baru sadar bahwa TKA ini sudah memiliki publik yang tetap. Maklum, sudah sepuh ^^.

Gw nggak akan menerjemahkan seluruh kuesioner ini. Tapi kira-kira isinya nanya pengalaman berpaduan suara, konser paling hebat yang pernah dialami, musisi atau penyanyi favorit, hobi, buku yang sedang dibaca, dan lain-lain. Nah, buat yang bisa sedikit bahasa kumpeni, seharusnya bahasa Belanda gw masih bisa dimengerti, hehehe. Buat yang nggak ngerti, di Google Translate aja kali ya. Anyway, sekali lagi, ide yang bagus buat audisi PSM tahun depan?

choir cute

Naam:  Hendra Agustian
Stemsoort: Tenor
Lid van TKA sinds: december 2012

Zong of zing je in een ander koor? En doe je nog iets anders met muziek, bespeel je bijvoorbeeld een instrument?

Ik zing nu ook in Hollands Vocaal Ensemble (olv Fokko Oldenhuis). Vorig jaar zong ik in Nederlands Studenten Kamerkoor (olv Maria van Nieukerken). Daarvoor zong ik in Kamerkoor Vocoza (olv Sanne Nieuwenhuijsen) en Choir 20/21 (olv MaNOj Kamps). Toen ik Indonesië woonde, heb ik ook in een aantal koren gezongen, o.a. Batavia Madrigal Singers (olv Avip Priatna), National Youth Choir Indonesia (olv Ivan Yohan), Cavallero Male Singers (olv Rainier Revireino), Twilite Chorus (olv Benjamin Manumpil), en AgriaSwara (olv Arvin Zeinullah).

Ik schrijf een weblog over koormuziek (in Bahasa Indonesia en Engels): http://www.sanguinischoraliensis.wordpress.com

Wat vind je leuk aan TKA?

Het repertoire van TKA spreekt me aan. Ik zing meestal in kleine bezettingen van 4 tot 30 zangers. Ik hou van a cappella muziek, maar ik vind kolossale en symfonische muziek ook leuk.

Wat is het mooiste/spannendste/meest ontroerende concert dat je ooit met een koor hebt uitgevoerd?

In 2009 ging ik op concerttournee met Batavia Madrigal Singers naar Slovenië, Hongarije en Oostenrijk. In Slovenië hebben we deelgenomen aan een internationale koorwedstrijd, die tot European Grand Prix for Choral Singing behoorde. Binnen één week, hebben we vijf concerten in vijf steden uitgevoerd. Ik vond het erg spannend, omdat we voor een internationaal publiek hebben opgetreden. En niet alleen zingen, maar ook dansen, want het repertoire omvatte veel Indonesische volksmuziek.

Welk stuk zou je graag (nog eens) willen zingen?

St. Luke Passion (Krzysztof Penderecki), Strathclyde Motets (James Macmillan), of Path of Miracles (Joby Talbot).

Heb je een favoriete zanger, zangeres, instrumentalist of orkest? Zo ja, wie of welk?

Ik ben gek op Britse koren. Dus ik luister vaak naar The Sixteen (Harry Christopher), Polyphony (Stephen Layton), of Tenebrae (Nigel Short). Maar mijn favoriete zanger is Andreas Scholl.

Wat is voor jou het mooiste lied aller tijden?

Ser Eshgh (Het Geheim van de Liefde) van Muhammad Reza Shajarian, een levende legende van Perzische klassieke muziek.

Heb je – buiten het zingen – nog andere hobbies? Welke?

Ik lees boeken en artikelen over wetenschap en humanisme. Daarnaast begin ik ook te leren koken 🙂

Wat doe je in het dagelijks leven?

Ik ben een promovendus aan de Universiteit voor Humanistiek in Utrecht. Ik doe een onderzoek naar internationalisering in het voortgezet onderwijs.

Wat is je favoriete vakantiebestemming? En waarom?

Italië. Ik zou daar graag een aantal jaar willen wonen, om in kunst, muziek en kultuur te verdiepen.

Kun je ons een restaurant aanbevelen?

Witte Uyl op Frans Halsstraat.

Welk boek ligt er op je nachtkastje en is er een boek dat je iedereen zou  aanraden te lezen?

Er ligt daar geen boek, maar ik ben een boek van Michio Kaku “Physics of the Impossible” aan het lezen. Als je van wetenschap houdt, raad ik je alle boeken van Michio Kaku aan.

Vertel eens iets verrassends/leuks/grappigs/stoers over jezelf?

Ik kom uit een dorp op een bergachtig gebied in West Java, en tot mijn dertiende speelde ik nog steeds buiten mijn ouders huis, in de modder en het groenteveld van mijn vader.

In de film over jouw leven: welke acteur/actrice speelt de rol van jou?
En wat zou in die film de themamuziek of het themalied kunnen zijn?

Nicholas Saputra, een Indonesische acteur. “Jemplang Panganten”, een Sundanese volksmuziek zou de themamuziek kunnen zijn.

Met wie zou je wel eens een borreltje willen dirinken? En waarom?

Ik zou graag een borreltje met Dalai Lama willen drinken, omdat zijn visie me heel goed aanspreekt.

Wanneer ben jij het meest in je element?

Als ik een mooi concert uitvoer met een goed koor.


Prima Vista

Seorang pemusik, apa pun instrumen yang ia mainkan, biasanya dituntut untuk memiliki kemampuan prima vista, atau sight-reading. Dalam kasus kita sebagai penyanyi, prima vista juga diterjemahkan sebagai sight-singing. Gw belum berhasil menemukan padanan kata ini dalam bahasa Indonesia, jadi, sementara kita pakai istilah Italianya saja kali ya, prima vista, yang secara harfiah berarti ‘pandangan pertama’ (begitu menggoda? xixixi).

Tunggu!

Apaan sih prima vista? Pandangan pas ngeliat konduktor untuk pertama kalinya? Atau pandangan pertama dari orang yang naksir kita di paduan suara? Nah lho!

Baiklah, mari kita perjelas batasan prima vista, utamanya dalam berpaduan suara.

Definisi prima vista yang sederhana nggak perlu jauh-jauh kita cari. Coba aja cek Wikipedia. Prima vista berarti membaca dan memainkan (atau menyanyikan) sebuah karya musik yang tertulis, terutama ketika pemusik atau penyanyi belum pernah melihat partitur musik tersebut sebelumnya.

Seberapa pentingkah kemampuan prima vista?

Menjawab pertanyaan ini, gw jadi inget lema blog yang gw tulis di blog gw yang lain, yang gw tulis sekitar tahun 2004. Di lema tersebut gw mengumpulkan beberapa tips dari pelatih dan pengaba paduan suara bagaimana bernyanyi dengan baik. Salah satunya, dari Brian Ohnsorg, seorang pelatih paduan suara dari Negeri Paman Sam. Kata Ohnsorg:

Menjadi seorang sight-reader yang baik akan memungkinkan siapa pun untuk belajar musik lebih cepat, terdepan dalam latihan, dan membantu dalam berkonsentrasi pada kualitas vokal. Prima vista, seperti otot, hanya semakin kuat dengan pengulangan. Tidak peduli apa yang kamu nyanyikan. Baik itu sebuah himne, buku latihan membaca not, atau secarik partitur musik yang tergeletak di ruang paduan suara. Sebagai permulaan, coba ambil sebuah karya musik, temukan pitch awal kamu, kemudian bernyanyilah sambil selalu awas dengan “rambu-rambu” musik pada partitur yang kamu pegang. Jangan berhenti! Kalaupun ada salah, hajar saja dulu. Selama kamu terus berusaha memperbaiki kesalahan, lambat laun kamu akan menjadi lebih fasih dalam bahasa musik. Kita tidak dilahirkan dengan kemampuan prima vista. Ini adalah keterampilan yang dipelajari. Kadang butuh bertahun-tahun, tapi kalau kamu terus berusaha, kamu pasti bisa.

– Brian Ohnsorg

Terus gimana dong? Gw nggak bisa. Gw nggak pernah belajar teori musik. Bagaimana mungkin, membaca aja aku sulit? Terus, terus, do mi sol do aja gw fals?

Nah, kan tujuan gw nulis ini blog buat berbagi sedikit nektar ilmu pengetahuan dan madu pengalaman bermusik. Jadi, dengan penuh kesenangan hati, gw ingin berbagi sebuah buku untuk latihan bernyanyi prima vista buat kalian. Judulnya “Eyes and Ears: an Anthology of Melodies for Sight-Singing” karya Benjamin Crowell, yang sejatinya adalah seorang fisikawan. Buku ini gw unduh gratis dari Art Song Central, jadi nggak ada masalah hak cipta di sini. Teman-teman silakan unduh buku tersebut di sini.

Perhatian perhatian! Not balok ya boooo, bukan not angka.

Gw akan harus menulis lema tersendiri mengenai dilema not balok-not angka ini. Nanti deh. Tapi sementara gw dengan agak sungkan harus berkata bahwa sebaiknya semua penyanyi, baik solo maupun paduan suara, hanya menggunakan partitur dengan not balok. Hal ini amat sangat krusial untuk banyak alasan. Di antaranya adalah visualisasi melodi dan harmoni dalam not balok jauh lebih kuat daripada not angka. Kita dengan mudah bisa melihat apakah interval dari sebuah nada ke nada berikutnya naik atau turun pada partitur not balok. Kita juga bisa dengan mudah memindai setinggi apa kira-kira sebuah nada atau keseluruhan lagu dengan melihat posisi not pada garis paranada. Pada partitur not angka, ini nyaris mustahil. Selain itu, fenomena partitur dengan angka-angka di dalamnya sejauh pengetahuan gw hanya terjadi di Indonesia. Gw belum membaca secara menyeluruh apa sejarah di balik fenomena ini, dan mengapa ini cukup kuat berakar dalam musik (paduan suara) di tanah air. Tapi gw bisa meyakinkan teman-teman semua kalau belajar prima vista dengan not balok itu bisa kok. Cuman ya itu, seperti Ohnsorg bilang, butuh kesabaran, ketelitian, dan pengulangan. Setelah lebih dari 4 tahun berpaduan suara, gw juga baru bisa kok. Itu juga kalo udah komposisi musik atonal macam “Nonsense Madrigal” (Ligeti) atau “Situaties” (de Ruiter) mah, gw juga harus mengadu pada piano.

Nah, apa pun musik yang akan kalian pelajari pada latihan berikutnya, dengan bekal kemampuan prima vista yang cukup, proses latihan pasti akan berjalan lebih lancar, efektif, dan efisien. Konduktor juga biasanya paling senang dengan paduan suara yang bisa langsung ‘membunyikan’ melodi dan harmoni sebuah lagu baru. Apalagi kalau paduan suara berkesempatan mempremiérkan sebuah komposisi. Wah, itu akan sangat menantang.

Selamat berlatih!

Kalo bisa prima vista yang ini, berarti kalian jago 😛

Modus Novus????