Suatu waktu di tahun 2012 silam gw diajak nonton konser di Grote Kerk, Naarden, sekitar 20 menit berkendara dari Amsterdam. Naarden adalah sebuah kotamadya “benteng bintang”. Disebut begitu karena kotamadya ini secara harfiah dikelilingi benteng yang kalau dilihat dari udara berbentuk seperti bintang.
Setiap tahun di bulan Maret, ketika musim semi mengetuk perlahan, gereja agung di Naarden menjadi tuan rumah sebuah pergelaran mahakarya musik yang paling dicintai di Negeri Kumpeni. Setiap tahun di bulan Maret, para tokoh politik kenamaan, termasuk sang Perdana Menteri, pesohor dan penyair, penguasa dan pengusaha, atau orang biasa, berkumpul di Naarden untuk mengapresiasi gubahan sakral yang paling sering dikonserkan di sini: Matthäus Passion karya Johann Sebastian Bach.
Begitu populernya Matthäus Passion di Belanda, tahun ini ada lebih dari 100 konser digelar di seluruh pelosok negeri, oleh orkestra dan paduan suara amatir maupun profesional. Kadang mereka membuat versi singkat dari keseluruhan musik yang bisa berdurasi lebih dari 3 jam ini. Atau ada juga kursus singkat menyanyikan bagian chorale atau memainkan bagian solo cello pada aria tenor “Geduld, geduld” (Sabarlah, sabarlah). Atau yang minggu kemarin juga sempat gw alami, Meezing Matthäus (Nyanyi-Bareng Matthäus), di mana publik juga boleh ikut bernyanyi pada bagian-bagian tertentu. Apa pun bentuk produksi musikalnya, Matthäus Passion telah menjadi tradisi perayaan Paskah sejak sekitar tahun 1870-an. Konser di Grote Kerk Naarden ini misalnya, telah ditampilkan oleh Nederlandse Bachvereniging (Masyarakat Bach Belanda) setiap tahun sejak 90 tahun yang lalu.
Menurut Jacqueline Oskamp, dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh De Groene Amsterdammer 31 Maret 1999, salah satu alasan mengapa Matthäus Passion begitu terkenal di sini adalah Willem Mengelberg (1871-1951). Selama 45 tahun berturut-turut dalam kariernya sebagai pengaba, Mengelberg menggelar Matthäus Passion, setiap tahun tak pernah terlewatkan. Hanya ketika di tahun 1944 setelah Perang Dunia II, ketika ia dilarang menjadi dirigen, barulah Mengelberg terpaksa harus berhenti. Namun, tradisi tahunan Matthäus Passion diteruskan oleh pengaba-pengaba lainnya, hingga hari ini. Dari sudut-sudut katedral dan gedung konser, di kota maupun di desa, kita bisa mendengarkan alunan indah suara mezzosopran atau kontratenor menyanyikan “Erbarme dich” (Kasihanilah), atau hentakan mengerikan dalam “Sind Blitze, sind Donner in Wolken verschwunden” (Petir dan halilintar lenyap ditelan awan).
Begitulah, setahun yang lalu untuk pertama kalinya gw menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat di sini, Katolik maupun Protestan, teis maupun ateis, dengan penuh apresiasi mengikuti prosesi konser yang penuh kompleksitas ini. Banyak di antara audiens membawa partitur mereka sendiri, yang seringnya sudah lecek saking seringnya dipakai. Sepanjang konser mereka mengikuti teks dan musik dalam partitur yang mereka bawa, atau buku program konser yang selalu menyertakan terjemahan teks Jerman dalam bahasa Belanda. Banyak di antara mereka yang tak kuasa menitikkan air mata, terutama pada bagian ketika Kristus disalibkan dan wafat, atau mungkin hanya karena terenyuh dengan keindahan musik dan suasana wingit yang tercipta sepanjang konser.
Begitu dramatis pengalaman tersebut berbekas dalam psike gw, hingga gw memutuskan untuk mencari paduan suara yang memang secara teratur menggelar gubahan Bach paling dicintai ini. Tahun ini, dengan penuh semangat dan kecintaan pada musik, akhirnya gw ambil bagian dalam produksi Matthäus Passion dengan Combattimento Consort (Jan Willem de Vriend), Toonkunstkoor Amsterdam (Boudewijn Jansen), Roder Boys Choir (Rintje Albert te Wies), dan solis-solis fantastis macam Andreas Weller sebagai Evangelis, Michael Kraus sebagai Yesus, soprano Claron McFadden dan Lenneke Ruiten, mezzosoprano Cécile van de Sant dan Barbara Kozelj, tenor Thomas Michael Allen, dan bariton Maarten Koningsberger. Lima konser di lima tempat: satu konser nyanyi-bareng di Concertgebouw Amsterdam, dua konser di Muziekgebouw aan ‘t Ij Amsterdam dan Philharmonie Haarlem, satu konser yang melibatkan ratusan anak-anak sekolah dasar, dan satu konser tahunan monumental tepat pada hari Jumat Agung di Concertgebouw … nanti malam.
Tahun ini gw satu repertoar Bach lebih kaya ^^. Untuk yang belum pernah mengalami sendiri keajaiban musik Bach paling dicintai yang gw bahas di sini, silakan nikmati interpretasi Philipp Herreweghe yang dinilai banyak kritisi musik sebagai salah satu yang terbaik.
Semoga menginspirasi.