Konser HVE “Ein rein Herz”

HVE Spring Concert 2013

HVE Spring Concert 2013

Sekitar dua bulan setelah lulus audisi menjadi penyanyi sebuah ansambel vokal yang berbasis di Amsterdam, Hollands Vocaal Ensemble (HVE), gw ngamen lagi setelah sekitar setahun absen dari bidikan lampu sorot. Tepat setahun silam gw ngamen keliling Negeri Kumpeni bersama Nederlands Studenten Kamerkoor (NSK), membawakan komposisi dan gubahan a cappella dari abad kekinian. Dua minggu, empat premiér, sepuluh konser, berakhir di Concertgebouw Amsterdam. Tepat setahun kemudian, gw dengan sumringah menampakkan diri lagi. Kali ini di Haarlem dan Amsterdam.

HVE membawakan komposisi a cappella dari komponis Jerman: Hugo Distler, Heinrich Schütz, Felix Mendelssohn, Anton Bruckner, dan Johannes Brahms. Nama-nama yang rasanya sama sekali tidak asing di telinga publik paduan suara di Indonesia. Kecuali mungkin Distler, yang relatif jarang terdengar dinyanyikan di tanah air. Distler adalah seorang komponis, organis, guru, dan pengaba paduan suara yang mati muda: bunuh diri pada usia 34 tahun, di tengah kengerian perang dunia dan kebingungan antara melayani Tuhan atau Nazi. Musik Distler yang sering berbentuk polifoni dan berdasarkan tangga nada pentatonis dianggap sebagai ‘seni yang bobrok’ oleh publik Jerman kala itu. Tetapi justru karena kekhasannya itulah komposisinya menjadi unik. HVE dengan bangga mempersembahkan dua komposisi Distler yang cukup menantang: “Singet dem Herrn ein neues Lied” dan “Fürwahr, er trug unsere Krankheit”.

Janskerk, Haarlem (photo: Rijksmonumenten)

Hari pertama HVE konser di Janskerk, Haarlem, yang dulunya adalah sebuah gereja yang dibangun sekitar awal tahun 1300an. Saat ini fungsinya diubah menjadi Gedung Arsip Provinsi Noord Holland. Begitu kayanya sejarah gedung ini, pemerintah provinsi tidak dengan semena-mena menyulap gereja menjadi gedung arsip begitu saja. Pada beberapa sudut dalam gedung, wajah asal gereja masih bisa kita telusuri, seperti dinding yang sebagian sengaja dibiarkan tanpa semen, seolah mengizinkan wajah tua nan keriput berusia 700 tahun itu ikut mengambil perhatian audiens konser.

Di hari kedua, HVE tampil di Waalse Kerk, Amsterdam, sebuah gereja di pusat kota yang dibangun pada awal abad ke-15. Menurut pengaba kami, gereja kecil ini memiliki salah satu akustik terbaik untuk konser paduan suara dan musik kamar. Itulah sebabnya, live recording dibuat untuk konser hari kedua.

Waalse Kerk, Amsterdam (photo: Reformatorisch Dagblad)

HVE membuka konser dengan motet untuk 8-suara “Mitten wir im Leben sind“, lagu ketiga dari Op.23-nya Felix Mendelssohn. Komposisi ini pertama banget gw denger dulu di Indonesia, dinyanyikan dengan baik oleh PSM Unpad pada salah satu kompetisi paduan suara di Bandung tahun 2002. Tahun 2005, gw berkesempatan menyanyikan komposisi ini dengan National Youth Choir Indonesia. Tapi sayang, Ivan Yohan sang pengaba belakangan memutuskan untuk tidak memasukkan lagu ini ke dalam repertoar konser.

Siapa nyana, tahun 2012 akhirnya gw sempat juga mengapresiasi motet yang penuh kekuatan emosi dan ketelitian musikal ini. Menurut Julian Haylock, motet ini memiliki karakter Bach yang sangat kuat. Tiga ayat yang menjadi tubuh utama lagu selalu diakhiri dengan “Kyrie eleison” dan ditandai dengan tekstur yang bertentangan, antara chorale yang khidmat dan vivace kontrapuntal.

Sebagai rujukan, berikut pranala YouTube St John’s College Choir, Cambridge, membawakan lagu ini.

Dalam komposisi 8 suara divisi, gw biasanya menyanyikan Tenor 1. Tapi, seperti biasanya, gw selalu kedapatan tugas tambahan. Salah satu Tenor 2 tiba-tiba mengundurkan diri dari konser beberapa hari sebelum hari-H. Alhasil, Fokko Oldenhuis sang pengaba meminta gw untuk belajar cepat semua bagian Tenor 2. Yah… gw lagi, gw lagi. Tapi demi keseimbangan suara, gw jabani juga. “Kyyyyrieeee eleisoooon…”

Kemudian HVE merangkai kata terakhir ‘eleison’ pada lagu pembuka dengan salah satu motet Johannes Brahms yang paling indah: “Schaffe in mir Gott, ein rein Herz“, yang juga menjadi judul konser kali ini. Hati yang Bersih. Brahms menulis motet ini berdasarkan teks Mazmur 51. Banyak kritisi musik menilai motet-motet Brahms layak disandingkan dengan motetnya Bach. Nomor kedua dari Op. 29-nya Brahms ini misalnya, mengingatkan kita pada motet “Singet dem Herren ein neues Lied” (Johann Sebastian Bach).

Sebagai rujukan, coba buka Spotify kalian dan dengarkan Norddeutscher Figuralchor membawakan motet Brahms dan Kammerchor Stuttgart membawakan motet Bach yang gw sebutkan di atas.

Selepas Brahms, HVE menyajikan musik Distler yang unik itu, dimulai dengan “Fürwahr, er trug unsere Krankheit” (Dan sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggung-Nya). Motet yang teksnya diambil dari Yesaya 53:4-5 ini adalah komposisi terakhir yang ditulis Distler sebelum dia bunuh diri setahun kemudian. Sepanjang lagu ada banyak sekali bunyi disonan dan harmoni kromatik yang cenderung terdengar putus harapan. Musik Distler yang terdengar sedih dan muram ini memang tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu di mana dan ketika komposisi ini ditulis, yaitu ketika Nazi di Jerman semakin mengukuhkan cakar-cakar fasismenya di Jerman dan Eropa. Untuk gambaran, silakan dengar Monteverdi Chor München membawakan motet ini di Spotify.

Alur waktu kemudian sejenak mundur beberapa abad. Giliran komposisi sakralnya Heinrich Schütz, yang dipandang sebagai komponis Jerman paling penting sebelum Bach. Sebagai murid Gabrieli dan pengagum Monteverdi, dia memperkenalkan gagasan musikal baru dari Italia ke dunia musik di Jerman.

HVE bernyanyi dalam seting yang berbeda untuk motet-motet dari zaman Barok ini. Sekitar 30 orang penyanyi dalam ansambel vokal ini dibagi dua. Setengahnya menyanyikan motet “Die Himmel erzählen die Ehre Gottes”, kemudian Claudia Rolando, salah satu soprano kami yang berasal dari Argentina dan sekarang tengah menempuh PhD di Belanda dalam bidang pembelajaran nyanyi klasik membawakan dua motet untuk solo “O misericordissime Jesu” dan “O Jesu nomen dulce” diiringi konduktor Fokko memainkan klavisimbel. Pada saat gw menulis lema blog ini, Claudia sedang berada di Paris dalam tur konsernya keliling Eropa membawakan musik klasik Argentina. Setelah dua lagu solo tersebut, separuh penyanyi yang lain, termasuk gw, membawakan “Unser Wandel ist im Himmel”. Seperti biasa, gw selalu menikmati bernyanyi dalam seting kecil seperti ini. Kami bernyanyi seperti penyanyi madrigal, setengah melingkar dan campur aduk: penyanyi kiri-kanan harus dari suara lain. Gw seneng banget bisa nyanyiin Schütz lagi, setelah terakhir tahun 2009 bawain satu atau dua karyanya yang lain dengan Batavia Madrigal Singers.

Di YouTube bisa kalian dengarkan Collegium Vocale Gent (Philippe Herreweghe) yang spektakuler itu membawakan motet Schütz yang pertama:

dan kedua:

Selepas motet dari zaman Barok, HVE mempersembahkan komposisi lain dari Distler, “Singet dem Herrn ein neues Lied”. Motet yang terdiri atas tiga bagian ini diawali dengan bagian unisono yang dinyanyikan oleh para pria, yang terdengar cenderung resitatif. Badan lagu mengandung banyak sekali pergantian ritmus dan modalitas, sangat energik dan penuh fantasi. Coba lihat pranala YouTube berikut dari Calmus Ensemble Leipzig.

Kemudian konser diakhiri dengan salah satu motet Mendelssohn yang sangat terkenal itu: “Mein Gott, warum hasst du mich verlassen”. Motet ini merupakan nomor terakhir dari Op. 78 Tiga Mazmur untuk Paduan Suara Ganda, dan karya terpanjang di antara ketiga motet dalam opus ini. Mendelssohn menyelesaikan komposisi ini pada tahun 1844, dan dikomisi oleh Berliner Domchor. Di Inggris, motet ini sangat sering dibawakan sebagai repertoar konser. Bagian awal yang mengedepankan efek dramatis pergantian melodi solo tenor dengan harmoni paduan suara menjadi kekuatan motet ini. Kemudian ketika teks memasuki “Ich bin ausgeschüttet wie wasser”, kentara bahwa bentuk dan tekstur lagu berubah dan baru, dengan bersandingnya solokuartet dengan paduan suara. Rendisi HVE untuk motet ini menurut sang pengaba sih sangat meyakinkan. Nah, gw jadi penasaran nunggu hasil rekaman penampilan kami dalam konser ini.

Sebagai tanda cinta gw buat kalian, 😛 silakan nikmati Estonian Philharmonic Chamber Choir (Daniel Reuss) membawakan Op. 78 Nr. 3 mahakarya Mendelssohn ini.

Tanggapi